Agenda Kegiatan:
Seminar : Dinamika Politik & Pembangunan Papua
Waktu pelaksanaan: 17.12.2012 - 17.12.2012
Kategori: Agenda JDP
Deskripsi kegiatan:
Tim Kajian Papua P2P LIPI bekerjasama dengan Jaringan Damai
Papua (JDP) bermaksud menyelenggarakan acara seminar akhir tahun dengan
tema: “Dinamika Politik dan Pembangunan Papua”.
Hari/ tanggal : Senin, 17 Desember 2012
Waktu : Pukul 12.00-17.00 WIB
Tempat : Unique Room, Lt.2,
Hotel Harris, Tebet, Jl. Dr. Sahardjo No. 191, Jakarta 12960
Pembicara :
- Drs. Mahfudz Siddiq, M.Si (Ketua Komisi I DPR RI)
- Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA (Dirjen Otda Kemendagri)
- Yulius Miagoni, SH (Sekretaris Komisi A, DPR Papua)
- Latifah Anum Siregar, SH (Direktur ALDP)
Lokasi : Hotel Harris, Tebet - Jakarta Selatan
Publikasi: LIPI Akan Gelar Seminar Evaluasi Politik Papua
Publikasi: LIPI Akan Gelar Seminar Evaluasi Politik Papua
LIPI: Negara dan Kelompok Sipil Lakukan Kekerasan di Papua
JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Tim Kajian Papua Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth mengatakan
kekerasan yang terjadi di Papua dilakukan oleh negara dan kelompok
sipil.
"Di
2011 lalu, LIPI mencatat kekerasan di papua banyak tapi korbannya tidak
begitu banyak. Sedangkan, pada 2012 jumlah kekerasan sedikit tapi
korbannya banyak. Itu membuktikan kekerasan masih langgeng di Papua,"
kata Elisabeth dalam peluncuran buku "Otonomi Khusus Papua Telah Gagal dan Saya Bukan Bangsa Budak" di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Selasa (18/12/2012).
Elisabeth
menjelaskan, kekerasan itu terjadi karena ketiadaan proses dialog.
Menurutnya, baik negara maupun kelompok sipil lebih memilih jalur
represif.
Represifitas digunakan untuk menyelesaikan setiap
konflik yang terjadi. Hal tersebut, lanjutnya, tidak menyelesaikan
permasalahan, bahkan mematik api konflik baru.
"Padahal,
pendekatan dialogis sangat perlu untuk menggantikan represif atas kasus
Papua. Inisiatif dialog itu seharusnya direspon Presiden. Tapi, sampai
kini tidak direspon," katanya.
Ia menambahkan, kekerasan yang
dilakukan rakyat sipil karena antara masyarakat asli dan non Papua ada
keterasingan. Menurutnya, di antara kedua pihak itu ada jarak.
Negara, tidak
mengakomodasi untuk mempersempit jarak tersebut. Akibatnya, kelompok
non Papua maupun Papua menjadi sasaran kekerasan.
"Itu harus diselesaikan dengan kepala dingin. Semua pihak yang berkepentingan harus duduk bersama," katanya. Editor : Benny N Joewono
"Itu harus diselesaikan dengan kepala dingin. Semua pihak yang berkepentingan harus duduk bersama," katanya. Editor : Benny N Joewono
LIPI: Kekerasan di Papua Masih Terjadi
Ralian Jawalsen Manurung
Kekerasan di Papua bukan hanya dilakukan negara, tapi juga dilakukan masyarakat sipil.
JAKARTA, Jaringnews.com - Anggota tim Kajian Papua
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth
mengemukakan, sama seperti catatan akhir tahun di LIPI bahwa kekerasan
memang masih terjadi di Papua.
"Tetapi harus dicatat bahwa tidak hanya dilakukan oleh Negara, tetapi
juga masyarakat Sipil. Jadi, persoalan kekerasan menjadi meluas,"ujar
Adriana, di gedung Komnas HAM, Menteng, Jakarta, Selasa (18/12).
Dia mengemukakan, Otonomi Khusus (Otsus) gagal bila indikatornya adalah kekerasan.
"Tapi saya mengusulkan untuk membuat sebuah indikator yang bisa lebih
terbaca, terukur untuk kita mengatakan bahwa otsus itu sudah gagal, dan
kegagalannya itu kenapa, jadi apa yang harus dilakukan, "ujar Andriana.
Dia menambahkan, kekerasan di Papua ekskalasinya masih memuncak hingga kini, sehingga mengakibatkan gagalnya Otsus.
"Dan peran pemerintah daerah disana tidak siqnifikan melakukan
peningkatan pembangunan, bahkan terkesan mandeknya pembangunan di
Papua," ujarnya.(Ral / Ara)
LIPI: Perlu Dilakukan Dialog dalam Mengatasi Masalah Papua
Ralian Jawalsen Manurung
Pemerintah harus tampilkan sosok humanis di Papua.
JAKARTA, Jaringnews.com - Lembaga Penelitian Ilmu Indonesia (LIPI) mendorong perlunya dilakukan pendekatan dialog dalam mengatasi masalah kekerasan di Papua yang selama ini terjadi.
Peneliti LIPI tentang Papua Adriana Elisabeth mengatakan, masalah kekerasan di Papua sampai saat ini belum reda, bahkan kekerasan hingga kini terus terjadi.
"Tugas negara tampil dalam mengatasi masalah Papua, tapi tidak menampilkan kekerasan dan lebih menampilkan sosok humanis," ujar Adriana, dalam peluncuran buku bertajuk "Otonomi Khusus Papua Telah Gagal dan Saya Bukan Bangsa Budak", di gedung Komnas HAM, Menteng, Jakarta, Selasa (18/12).
Lebih lanjut Adriana mengatakan, masih ada stigma non Papua dan Papua yang sekarang ini berkembang. Dan bila tidak dicari solusinya bukan tidak mungkin akan semakin meningkatkan eskalasi kekerasan di Papua.
"Papua atau non Papua ini siapa. Apakah kalau orang yang sudah lama tinggal di Papua bukan orang Papua," tukas peneliti LIPI tentang Papua ini.
Dalam mengatasi stigma Papua dan non Papua ini, jelasnya, harus dilakukan pendekatan yang lebih humanis dan melakukan dialog sebanyak mungkin sehingga dapat mengatasi masalah kekerasan.
Menurutnya, kekerasan di Papua bisa terurai dengan baik bila pemerintah pro aktif melakukan pendekatan humanis dan melakukan komunikasi yang lebih efektif. (Ral/Ara)
JDP Headline News:
Untuk Papua Damai, Harus Ada Indikator Yang Sama
Selasa, 18 Desember 2012 10:28
Jayapura – Membangun Papua sebagai tanah damai, harus dimulai dengan membangun komunikasi diantara masyarakat sipil.
“Tugas kita semua untuk memperjelas konsep Papua tanah damai agar tidak ada kecurigaan diantara kita,” demikian kata Pastor Dr. Neles Tebay, Koordinator Jaringan Damai Papua saat menyampaikan pandangannya di Forum Kajian Indikator Papua Tanah Damai di Kota Jayapura, Sabtu kemarin.
“Ada ungkapan, bicara Papua Tanah Damai sama artinya dengan bicara merdeka, ini keliru, kalau kita masih berpikir seperti itu maka sampai kapan kita bisa membangun Papua yang damai,” katanya lagi.
Menurut dia, Papua Tanah Damai mesti memiliki aturan atau indikator yang sama antara orang Papua dan non Papua. “Kalau saya punya ukuran dan kamu punya ukuran lain maka bisa konlfik, konflik terjadi karena kita punya ukuran yang berbeda, karena itulah kita mesti memiliki ukuran yang sama,” tambahnya.
Satu hal yang perlu dipikirkan, kata Neles adalah mengapa ini perlu dilakukan. “Yaitu untuk menyelesaikan konflik vertikal antara masyarakat Papua dan pemerintah. Tapi juga ada masalah komunikasi yang tidak beres diantara kita semua. Untuk menyelesaikannya kita harus mendorong dialog,” ucapnya.
Ia berpendapat, karena masyarakat Papua heterogen, ada konflik vertikal dan horizontal diantara warga sipil. Semuanya perlu memiliki visi bersama dan karena itu indikator Papua tanah damai harus dibahas.
“Semua pihak harus dilibatkan untuk membahasnya, kalau ada pihak yang tidak mau membahas itu berarti punya niat lain. Kalau kita mau hidup di Papua, mari bersama berjuang, kita mau menuju pelabuhan yang sama, pelabuhan damai. Non Papua perlu diberikan ruang untuk didengar pendapatnya,” katanya lagi.
Sebelumnya, diawal Desember 2012, Jaringan Damai Papua juga telah menggagas Lokakarya Dialog dan Rekonsiliasi antara Orang Asli Papua dan Non Papua di Jakarta untuk melihat pola relasi dan agenda damai bersama.
Peserta non Papua berasal dari jaringan Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) yang telah dimandatkan oleh JDP untuk melakukan kampanye Dialog Jakarta Papua bagi penyelesaian masalah tanpa kekerasan di tanah Papua.
“Tahun depan akan lebih banyak agenda konkrit untuk melibatkan komponen masyarakat sipil, Papua dan non Papua untuk membangun perdamaian,” janjinya. (Tim/AlDP)
Dialog untuk Mencari Titik Temu Perdamaian
Selasa, 18 Desember 2012 10:33
Jayapura – Pastor, Dr. Neles Tebay, salah satu koordinator Jaringan Damai Papua mengatakan, gagasan untuk menyelesaikan masalah Papua melalui Dialog awalnya dihasilkan oleh Kongres Rakyat Papua tahun 2000.
“Namun setelah itu saya sekolah ke luar dan saya tidak tahu lagi perkembangannya, seolah gagasan dialog hilang, orang bahkan takut bicara soal dialog,” ujarnya saat menghadiri Forum Kajian Indikator Papua Tanah Damai oleh Aliansi Demokrasi untuk Papua, Jaringan Damai Papua dan Tifa Foundation di Jayapura, Sabtu (15/12/2012).
“Sebab kalau orang Papua bicara dialog, dituduh bicara Papua Merdeka, kalau orang luar yang bicara dibilang mendukung papua Merdeka dan semua dianggap sebagai musuh negara maka orang lebih memilih diam, pekerjaan dijalankan seperti biasa,” ujarnya.
Lanjut Neles, pihaknya dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mendorong dialog. Mereka membuat penelitian dan menghasilkan buku Papua Road Map. “Saya juga membuat buku. Buku saya berisi pendapat soal dialog supaya kalau saya bicara dialog orang tahu pendapat saya mengenai dialog,” katanya.
Menurut dia, kini dialog sudah dibicarakan dimana-mana oleh berbagai pihak. Ada LSM, tokoh agama, bahkan Komisi I DPR RI sudah membentuk Panja, kemudian ada juga Forum Akademisi yang terus mendiskusikan dialog dalam pandangan akademisi.
“Memang kami mendapat tantangan, Dimana-mana saat kami lakukan Konsultasi Publik, pihak intelejen begitu banyak. Tapi karena kami terus jelaskan dan bekerja secara konsisten maka sudah banyak yang mengerti dan kekhawatiran semakin menipis,” paparnya.
Muncul juga tantangan lainnya dengan memperkenalkan istilah Komunikasi Konstruktif. “Tapi saat pidato SBY, beliau menggunakan istilah ‘kita mesti berdialog’ maka tantangan itu juga bisa kita atasi, yang terpenting maknanya,” ucapnya.
Pastor Neles menambahkan, tantangan lainnya adalah upaya untuk meredefenisi dialog. “Pimpinan daerah seperti gubernur datang ke kampung, menteri datang bicara sama masyarakat di Papua, mereka katakan itu sudah berdialog,” katanya.
Bagi Jaringan Damai Papua sendiri, yang dimaksud dialog sebagaimana tertuang dalam buku Tawaran Konsep Dialog, sehingga orang memahami persoalan dengan baik.
"Dialog dilakukan secara sejajar antara dua pihak yang bermasalah, mencari titik temu bersama antara dua belah pihak yang bertikai agar dapat berdamai, " tegasnya. (Tim/AlDP)
Rakyat Papua Bisa Berikan Bagian Emas Lebih Dari yang Amerika Bisa
Selasa, 18 Desember 2012 10:23
HMINEWS.Com – Sekjen Presidium Dewan Papua, Thaha Alhamid tidak bosan mengulang-ulang seruan agar penyelesaian masalah Papua ditempuh dengan dialog. Dengan dialog-lah, semua hal bisa dibicarakan baik-baik, termasuk jika pemerintah pusat berkeinginan mendapatkan bagian yang lebih besar dari tambang Freeport, misalnya.
“Gunung emas ada di Amungme, jangankan Indonesia, Amerika pun tidak bisa memindahkan itu gunung. Kalau mau dialog, kita bisa bagi dua itu gunung, caranya bagaimana, ya kembali kita dialogkan. Selama ini kan untuk dapat (bagian) 5 persen saja susah. Kalau mau bahkan pemerintah pusat bisa mendapatkan 30 persen. Caranya bagaimana, ya dialoglah dengan kami rakyat Papua,” ujar Thaha Alhamid dalam seminar akhir tahun, ‘Dinamika Politik dan Pembangunan Papua, Senin (17/12/2012).
Thaha menegaskan demikian karena, menurutnya, terbukti banyak yang berkepentingan di Bumi Cenderawasih tersebut. Ia mengakui interest paling utama yang membelit adalah persoalan uang. Semua demi uang, bahkan dengan mudahnya banyak kepala daerah menjual bumi Papua ke pihak manapun untuk mendapatkan uang guna tampil sebagai kepala daerah. Setelah terpilih sebagai kepala daerah mereka malah menghabiskan waktunya untuk tinggal di Jakarta, dan jika uang habis baru mereka kembali ke daerah, atau membuat ‘deal-deal’ baru lagi menggadaikan tanah air Papua.
Thaha banyak bercerita secara satire mengenai masalah Papua. Namun bagaimanapun permasalah yang mendera, sambil diusahakan penyelesaiannya, ia sangat berharap agar rakyat Papua bisa sekolah, semuanya, termasuk yang tinggal di daerah paling terpencil yang belum terjangkau karena ketiadaan sarana yang hanya bisa dicapai dengan pesawat. “Bagaimana caranya agar masyarakat Papua bisa sekolah, itu saja.” ucap Thaha sambil menyeka air matanya.
Upaya penyelesaian masalah secara damai dan dialog juga diserukan Mahfudz Siddiq (anggota Fraksi PKS) dan Latifah Anum Siregar (Jaringan Damai Papua/ JDP) yang menjadi pembicara seminar tersebut. Akan tetapi Mahfudz pesimis akan ada dialog, karena ia melihat, pemerintah pusat belum ada niat tersebut.
“Sampai 2014 jangan dulu berbesar hati bahwa akan ada dialog, selama kita belum punya presiden yang mencintai rakyat Papua,” kata Mahfudz.
Menurutnya pendekatan yang digunakan pemerintah masih selalu dari soal kedaulatan dan keamanan (sovoreignty and security) dan selalu menganggap semuanya merupakan potensi separatisme, padahal tidak selamanya keinginan masyarakat adalah itu. Karenanya tidak ada cara lain kecuali mewujudkan dialog.
“Namun jika dialog tetap belum bisa ditempuh, kita harus terus mendekatkan perspektif-kesepahaman. Dalam pandangan masyarakat luar Papua, ada PR besar bagi masyarakat Papua sendiri, mereka harus punya kesiapan dan kapabilitas membangun Papua. Masyarakat harus kasih tau, sinyal dan dukungan masyarakat Indonesia untuk turut membangun Papua. Fathur
Masalah Papua, Banyak Aktor Banyak Tuan
Selasa, 18 Desember 2012 10:18HMINEWS.Com – Persoalan Papua kini sangat rumit. Tidak hanya masalah ekonomi (kesejahteraan atau bagi-bagi duit), politik (kekuasaan), keamanan, dan pendidikan. Aktornya pun melibatkan begitu banyak kepentingan yang bervariasi, tidak hanya Jakarta-Papua, tetapi juga unsur lain bahkan tak ditampik adanya kepentingan asing yang ikut bermain dan mengambil keuntungan dari situasi yang ada.
Demikian poin penting dalam Seminar Refleksi Akhir Tahun 2012, ‘Dinamika Politik dan Pembangunan Papua’ yang diselenggarakan Jaringan Damai Papua (JDP) dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Hotel Harris, Tebet – Jakarta, Senin (17/12/2012).
“Sekarang banyak aktor, mentor dari aktor juga banyak, tuannya banyak, bos-bosnya di Jakarta juga banyak,” kata Sekjen Presidium Dewan Papua, Thaha Alhamid yang menjadi salah satu dari empat pembicara tersebut.
Berbagai upaya penyelesaian masalah Papua hingga kini pun belum ada yang terbukti manjur. Kucuran dana Otonomi Khusus (Otsus) yang demikian besar tidak terbukti membawa perubahan banyak ke arah yang lebih baik.
“Kasus kekerasan sipil, politik, dan pelanggaran HAM justru banyak terjadi di era Otsus,” kata Latifah Anum Siregar dari Aliansi Demokrasi untuk Papua.
Menurut Thaha, masalah Papua pun kian tidak jelas, dan karena ketidakjelasan tersebutlah upaya memperbaiki keadaan selalu tidak relevan. Semua program yang dijalankan tidak relevan karena tidak didahului dengan dialog untuk mencari masalah yang sebenarnya.
Mengomentari situasi tersebut, Mahfudz Siddiq menyatakan bahwa Papua harus dibuka dan terbuka. Dibuka secara transparan oleh pusat sehingga tidak terus menimbulkan pertanyaan di Indonesia sendiri maupun di dunia internasional yang akan terus menjadi beban diplomasi. Masyarakat Papua juga harus terbuka agar semua elemen bangsa turut membantu menyelesaikan masalah dan menjadikan Papua lebih baik. (JDP-Headline News)
Berita terkait:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar