JAKARTA, Jaringnews.com - Anggota tim Kajian Papua
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth
mengemukakan, sama seperti catatan akhir tahun di LIPI bahwa kekerasan
memang masih terjadi di Papua.
"Tetapi harus dicatat bahwa tidak hanya dilakukan oleh Negara, tetapi
juga masyarakat Sipil. Jadi, persoalan kekerasan menjadi meluas,"ujar
Adriana, di gedung Komnas HAM, Menteng, Jakarta, Selasa (18/12).
Dia mengemukakan, Otonomi Khusus (Otsus) gagal bila indikatornya adalah kekerasan.
"Tapi saya mengusulkan untuk membuat sebuah indikator yang bisa lebih
terbaca, terukur untuk kita mengatakan bahwa otsus itu sudah gagal, dan
kegagalannya itu kenapa, jadi apa yang harus dilakukan, "ujar Andriana.
Dia menambahkan, kekerasan di Papua ekskalasinya masih memuncak hingga kini, sehingga mengakibatkan gagalnya Otsus.
Ralian Jawalsen Manurung
Pemerintah harus tampilkan sosok humanis di Papua.
JAKARTA, Jaringnews.com - Lembaga Penelitian Ilmu
Indonesia (LIPI) mendorong perlunya dilakukan pendekatan dialog dalam
mengatasi masalah kekerasan di Papua yang selama ini terjadi.
Peneliti LIPI tentang Papua Adriana Elisabeth mengatakan, masalah
kekerasan di Papua sampai saat ini belum reda, bahkan kekerasan hingga
kini terus terjadi.
"Tugas negara tampil dalam mengatasi masalah Papua, tapi tidak
menampilkan kekerasan dan lebih menampilkan sosok humanis," ujar
Adriana, dalam peluncuran buku bertajuk "Otonomi Khusus Papua Telah
Gagal dan Saya Bukan Bangsa Budak", di gedung Komnas HAM, Menteng,
Jakarta, Selasa (18/12).
Lebih lanjut Adriana mengatakan, masih ada stigma non Papua dan Papua
yang sekarang ini berkembang. Dan bila tidak dicari solusinya bukan
tidak mungkin akan semakin meningkatkan eskalasi kekerasan di Papua.
"Papua atau non Papua ini siapa. Apakah kalau orang yang sudah lama
tinggal di Papua bukan orang Papua," tukas peneliti LIPI tentang Papua
ini.
Dalam mengatasi stigma Papua dan non Papua ini, jelasnya, harus
dilakukan pendekatan yang lebih humanis dan melakukan dialog sebanyak
mungkin sehingga dapat mengatasi masalah kekerasan.
Menurutnya, kekerasan di Papua bisa terurai dengan baik bila pemerintah
pro aktif melakukan pendekatan humanis dan melakukan komunikasi yang
lebih efektif.
(Ral/Ara)
JDP Headline News:
Untuk Papua Damai, Harus Ada Indikator Yang Sama
Selasa, 18 Desember 2012 10:28
Jayapura – Membangun Papua sebagai tanah damai, harus dimulai dengan membangun komunikasi diantara masyarakat sipil.
Dr. Neles Tebay“Tugas
kita semua untuk memperjelas konsep Papua tanah damai agar tidak ada
kecurigaan diantara kita,” demikian kata Pastor Dr. Neles Tebay,
Koordinator Jaringan Damai Papua saat menyampaikan pandangannya di Forum
Kajian Indikator Papua Tanah Damai di Kota Jayapura, Sabtu kemarin.
“Ada ungkapan, bicara Papua Tanah Damai sama artinya dengan bicara
merdeka, ini keliru, kalau kita masih berpikir seperti itu maka sampai
kapan kita bisa membangun Papua yang damai,” katanya lagi.
Menurut dia, Papua Tanah Damai mesti memiliki aturan atau indikator
yang sama antara orang Papua dan non Papua. “Kalau saya punya ukuran dan
kamu punya ukuran lain maka bisa konlfik, konflik terjadi karena kita
punya ukuran yang berbeda, karena itulah kita mesti memiliki ukuran yang
sama,” tambahnya.
Satu hal yang perlu dipikirkan, kata Neles adalah mengapa ini perlu
dilakukan. “Yaitu untuk menyelesaikan konflik vertikal antara masyarakat
Papua dan pemerintah. Tapi juga ada masalah komunikasi yang tidak beres
diantara kita semua. Untuk menyelesaikannya kita harus mendorong
dialog,” ucapnya.
Ia berpendapat, karena masyarakat Papua heterogen, ada konflik
vertikal dan horizontal diantara warga sipil. Semuanya perlu memiliki
visi bersama dan karena itu indikator Papua tanah damai harus dibahas.
“Semua pihak harus dilibatkan untuk membahasnya, kalau ada pihak yang
tidak mau membahas itu berarti punya niat lain. Kalau kita mau hidup
di Papua, mari bersama berjuang, kita mau menuju pelabuhan yang sama,
pelabuhan damai. Non Papua perlu diberikan ruang untuk didengar
pendapatnya,” katanya lagi.
Sebelumnya, diawal Desember 2012, Jaringan Damai Papua juga telah
menggagas Lokakarya Dialog dan Rekonsiliasi antara Orang Asli Papua dan
Non Papua di Jakarta untuk melihat pola relasi dan agenda damai bersama.
Peserta non Papua berasal dari jaringan Aliansi Demokrasi untuk Papua
(ALDP) yang telah dimandatkan oleh JDP untuk melakukan kampanye Dialog
Jakarta Papua bagi penyelesaian masalah tanpa kekerasan di tanah Papua.
“Tahun depan akan lebih banyak agenda konkrit untuk melibatkan
komponen masyarakat sipil, Papua dan non Papua untuk membangun
perdamaian,” janjinya.
(Tim/AlDP)
Dialog untuk Mencari Titik Temu Perdamaian
Selasa, 18 Desember 2012 10:33
Jayapura – Pastor, Dr. Neles Tebay, salah satu
koordinator Jaringan Damai Papua mengatakan, gagasan untuk menyelesaikan
masalah Papua melalui Dialog awalnya dihasilkan oleh Kongres Rakyat
Papua tahun 2000.
“Namun setelah itu saya sekolah ke luar dan saya tidak tahu lagi
perkembangannya, seolah gagasan dialog hilang, orang bahkan takut bicara
soal dialog,” ujarnya saat menghadiri Forum Kajian Indikator Papua
Tanah Damai oleh Aliansi Demokrasi untuk Papua, Jaringan Damai Papua dan
Tifa Foundation di Jayapura, Sabtu (15/12/2012).
“Sebab kalau orang Papua bicara dialog, dituduh bicara Papua Merdeka,
kalau orang luar yang bicara dibilang mendukung papua Merdeka dan semua
dianggap sebagai musuh negara maka orang lebih memilih diam, pekerjaan
dijalankan seperti biasa,” ujarnya.
Lanjut Neles, pihaknya dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
mendorong dialog. Mereka membuat penelitian dan menghasilkan buku Papua
Road Map. “Saya juga membuat buku. Buku saya berisi pendapat soal dialog
supaya kalau saya bicara dialog orang tahu pendapat saya mengenai
dialog,” katanya.
Menurut dia, kini dialog sudah dibicarakan dimana-mana oleh berbagai
pihak. Ada LSM, tokoh agama, bahkan Komisi I DPR RI sudah membentuk
Panja, kemudian ada juga Forum Akademisi yang terus mendiskusikan dialog
dalam pandangan akademisi.
“Memang kami mendapat tantangan, Dimana-mana saat kami lakukan
Konsultasi Publik, pihak intelejen begitu banyak. Tapi karena kami terus
jelaskan dan bekerja secara konsisten maka sudah banyak yang mengerti
dan kekhawatiran semakin menipis,” paparnya.
Muncul juga tantangan lainnya dengan memperkenalkan istilah
Komunikasi Konstruktif. “Tapi saat pidato SBY, beliau menggunakan
istilah ‘kita mesti berdialog’ maka tantangan itu juga bisa kita atasi,
yang terpenting maknanya,” ucapnya.
Pastor Neles menambahkan, tantangan lainnya adalah upaya untuk
meredefenisi dialog. “Pimpinan daerah seperti gubernur datang ke
kampung, menteri datang bicara sama masyarakat di Papua, mereka katakan
itu sudah berdialog,” katanya.
Bagi Jaringan Damai Papua sendiri, yang dimaksud dialog sebagaimana
tertuang dalam buku Tawaran Konsep Dialog, sehingga orang memahami
persoalan dengan baik
.
"Dialog dilakukan secara sejajar antara dua pihak yang bermasalah, mencari titik temu bersama antara dua belah pihak yang bertikai agar dapat berdamai, " tegasnya.
(Tim/AlDP)
Rakyat Papua Bisa Berikan Bagian Emas Lebih Dari yang Amerika Bisa
Selasa, 18 Desember 2012 10:23
HMINEWS.Com – Sekjen Presidium Dewan
Papua, Thaha Alhamid tidak bosan mengulang-ulang seruan agar
penyelesaian masalah Papua ditempuh dengan dialog. Dengan dialog-lah,
semua hal bisa dibicarakan baik-baik, termasuk jika pemerintah pusat
berkeinginan mendapatkan bagian yang lebih besar dari tambang Freeport,
misalnya.
“Gunung emas ada di Amungme, jangankan
Indonesia, Amerika pun tidak bisa memindahkan itu gunung. Kalau mau
dialog, kita bisa bagi dua itu gunung, caranya bagaimana, ya kembali
kita dialogkan. Selama ini kan untuk dapat (bagian) 5 persen saja susah.
Kalau mau bahkan pemerintah pusat bisa mendapatkan 30 persen. Caranya
bagaimana, ya dialoglah dengan kami rakyat Papua,” ujar Thaha Alhamid
dalam seminar akhir tahun, ‘Dinamika Politik dan Pembangunan Papua,
Senin (17/12/2012).
Thaha menegaskan demikian karena, menurutnya, terbukti banyak yang berkepentingan di Bumi Cenderawasih tersebut. Ia mengakui
interest paling
utama yang membelit adalah persoalan uang. Semua demi uang, bahkan
dengan mudahnya banyak kepala daerah menjual bumi Papua ke pihak manapun
untuk mendapatkan uang guna tampil sebagai kepala daerah. Setelah
terpilih sebagai kepala daerah mereka malah menghabiskan waktunya untuk
tinggal di Jakarta, dan jika uang habis baru mereka kembali ke daerah,
atau membuat ‘deal-deal’ baru lagi menggadaikan tanah air Papua.
Thaha banyak bercerita secara satire
mengenai masalah Papua. Namun bagaimanapun permasalah yang mendera,
sambil diusahakan penyelesaiannya, ia sangat berharap agar rakyat Papua
bisa sekolah, semuanya, termasuk yang tinggal di daerah paling terpencil
yang belum terjangkau karena ketiadaan sarana yang hanya bisa dicapai
dengan pesawat. “Bagaimana caranya agar masyarakat Papua bisa sekolah,
itu saja.” ucap Thaha sambil menyeka air matanya.
Upaya penyelesaian masalah secara damai
dan dialog juga diserukan Mahfudz Siddiq (anggota Fraksi PKS) dan
Latifah Anum Siregar (Jaringan Damai Papua/ JDP) yang menjadi pembicara
seminar tersebut. Akan tetapi Mahfudz pesimis akan ada dialog, karena ia
melihat, pemerintah pusat belum ada niat tersebut.
“Sampai 2014 jangan dulu berbesar hati
bahwa akan ada dialog, selama kita belum punya presiden yang mencintai
rakyat Papua,” kata Mahfudz.
Menurutnya pendekatan yang digunakan
pemerintah masih selalu dari soal kedaulatan dan keamanan (sovoreignty
and security) dan selalu menganggap semuanya merupakan potensi
separatisme, padahal tidak selamanya keinginan masyarakat adalah itu.
Karenanya tidak ada cara lain kecuali mewujudkan dialog.
“Namun jika dialog tetap belum bisa
ditempuh, kita harus terus mendekatkan perspektif-kesepahaman. Dalam
pandangan masyarakat luar Papua, ada PR besar bagi masyarakat Papua
sendiri, mereka harus punya kesiapan dan kapabilitas membangun Papua.
Masyarakat harus kasih tau, sinyal dan dukungan masyarakat Indonesia
untuk turut membangun Papua.
Fathur
Masalah Papua, Banyak Aktor Banyak Tuan
Selasa, 18 Desember 2012 10:18
HMINEWS.Com – Persoalan Papua kini sangat rumit. Tidak hanya masalah
ekonomi (kesejahteraan atau bagi-bagi duit), politik (kekuasaan),
keamanan, dan pendidikan. Aktornya pun melibatkan begitu banyak
kepentingan yang bervariasi, tidak hanya Jakarta-Papua, tetapi juga
unsur lain bahkan tak ditampik adanya kepentingan asing yang ikut
bermain dan mengambil keuntungan dari situasi yang ada.
Demikian poin penting dalam
Seminar Refleksi Akhir Tahun
2012, ‘Dinamika Politik dan Pembangunan Papua’ yang diselenggarakan
Jaringan Damai Papua (JDP) dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) di Hotel Harris, Tebet – Jakarta, Senin (17/12/2012).
“Sekarang banyak aktor, mentor dari aktor juga banyak, tuannya
banyak, bos-bosnya di Jakarta juga banyak,” kata Sekjen Presidium Dewan
Papua, Thaha Alhamid yang menjadi salah satu dari empat pembicara
tersebut.
Berbagai upaya penyelesaian masalah Papua hingga kini pun belum ada
yang terbukti manjur. Kucuran dana Otonomi Khusus (Otsus) yang demikian
besar tidak terbukti membawa perubahan banyak ke arah yang lebih baik.
“Kasus kekerasan sipil, politik, dan pelanggaran HAM justru banyak
terjadi di era Otsus,” kata Latifah Anum Siregar dari Aliansi Demokrasi
untuk Papua.
Menurut Thaha, masalah Papua pun kian tidak jelas, dan karena
ketidakjelasan tersebutlah upaya memperbaiki keadaan selalu tidak
relevan. Semua program yang dijalankan tidak relevan karena tidak
didahului dengan dialog untuk mencari masalah yang sebenarnya.
Mengomentari situasi tersebut, Mahfudz Siddiq menyatakan bahwa Papua
harus dibuka dan terbuka. Dibuka secara transparan oleh pusat sehingga
tidak terus menimbulkan pertanyaan di Indonesia sendiri maupun di dunia
internasional yang akan terus menjadi beban diplomasi. Masyarakat Papua
juga harus terbuka agar semua elemen bangsa turut membantu menyelesaikan
masalah dan menjadikan Papua lebih baik.
(JDP-Headline News)