Judul Buku: Timor Timur, Satu Menit Terakhir
Penulis: C.M. Rien Kuntari
Penulis: C.M. Rien Kuntari
Penerbit: Mizan Bandung
Terbitan: Desember 2008
Tebal: 483 halaman
Meliput konflik adalah tugas sehari-hari Rien Kuntari, wartawan Kompas. Dia telah memasuki medan-medan perang paling berbahaya, termasuk Rwanda, Irak, dan Kamboja. Tapi, di antara semua wilayah konflik yang pernah dia liput, Timor Timur adalah yang paling sulit, paling membahayakan, dan sekaligus paling mengesankan.
Sebagai seorang wartawan yang dituntut bersikap
objektif dan cover both sides, Rien menghadapi dilema: sebagai seorang
wartawan asal Indonesia, dia bisa dicurigai sebagai pro-otonomi oleh kelompok
pro-kemerdekaan. Sebaliknya, lantaran dapat mengakses beberapa tokoh CNRT, dia
juga dituduh pro-kemerdekaan. Dan kecurigaan di medan konflik berarti berada di
tubir kematian.
Inilah catatan seorang wartawan atas peristiwa-peristiwa dramatis menjelang, selama, dan setelah jajak pendapat di Timor Timur tahun 1999—sebuah segmen amat penting dalam garis sejarah bangsa Indonesia. Ditulis dengan keberanian seorang "syahid", kejujuran seorang jurnalis tulen, dan ketulusan seorang "manusia"—a true human being. Tak berlebih jika buku ini layak dicatat sebagai sebuah dokumen kemanusiaan (humane documentary).
Inilah catatan seorang wartawan atas peristiwa-peristiwa dramatis menjelang, selama, dan setelah jajak pendapat di Timor Timur tahun 1999—sebuah segmen amat penting dalam garis sejarah bangsa Indonesia. Ditulis dengan keberanian seorang "syahid", kejujuran seorang jurnalis tulen, dan ketulusan seorang "manusia"—a true human being. Tak berlebih jika buku ini layak dicatat sebagai sebuah dokumen kemanusiaan (humane documentary).
Berikut ini tanggapan Pembaca Buku karangan C.M Kuntari, Timor-Timur, Satu Menit Terakhir:
Letjen
TNI (Purn) Agus Widjojo:
“Kemampuan
Mbak Rien yang secara luwes bergerak dari tataran formal hingga informal,
memberikan detail dan artikulasi tentang keadaan di Timor Timur pada waktu
itu.”
Xanana
Gusmao:
”Yang
tersaji dalam buku ini bukan isapan jempol dan bukan pula kepiawaian seorang
wartawan oportunis, melainkan pengalaman nyata seorang pejuang pers dan patriot
bangsa, terdorong oleh kecintaannya kepada dua bangsa yang bersaudara,
Indonesia dan Timor Leste.
Sindhunata,
wartawan:
“Rien
Kuntari adalah wartawan yang rajin menjelajahi medan kekerasan dan peperangan.
Namun ia juga seorang perempuan. Betapapun bengis dan kejam medan konflik yang
dihadapinya, ia selalu bisa melihat dan menangkapnya dengan mata hati seorang
perempuan yang penuh dengan kelembutan, kejujuran dan bela rasa terhadap
kemanusiaan. Konflik kekerasan di medan perang menjadi jeritan dan airmata di
medan hatinya yang mudah tergores oleh penderitaan. Itulah yang membuat tulisan
jurnalistiknya tentang peristiwa dramatis di sekitar jajak pendapat di Timor
Timur 1999 ini menjadi begitu indah dan mengharukan tapi juga menegangkan.
Membaca buku ini kita seakan diajak untuk masuk ke dalam relung terdalam
kemanusiaan, yang mendambakan cinta, kesetiaan, perdamaian dan ketenteraman
justru di tengah konflik yang bengis dan kejam.”
Pengakuan
seorang kawan:
"Ya Tuhan, jika inilah saatku, ampunilah
aku." Hanya doa sepenggal itulah yang sempat kupanjatkan di depan senjata
yang sudah terkokang dan larasnya ditempelkan tepat di dahi saya.
Instruksi itu menyebutkan, saya akan diculik
selepas maghrib. Setelah dicomot dari rumah, konon, saya akan diinterogasi oleh
seseorang tentang aktivitas saya di kelompok pro-kemerdekaan. Reka pembunuhan
terhadap saya akan dilaksanakan dengan cara mutilasi keesokan harinya.
Potongan-potongan tubuh saya akan dibuang di beberapa tempat. Dengan begitu,
jasad saya tidak akan pernah ditemukan. Jika semua itu terlaksana, saya mungkin
akan menjadi penghuni daftar-panjang orang hilang di Timtim.
“Saya minta maaf, Rien...selama ini informasi
tentang kamu simpang siur. Saya sempat yakin pada apa yang dikatakan
orang-orang tentang kamu, bahwa kamu sangat pro-kemerdekaan, tidak setia kawan,
tidak nasionalis .... Tetapi terus terang, pandangan saya tentang kamu luntur
dan berubah 180 derajat saat melihat kamu menitikkan air mata dan menangis tak
henti ketika mendengar Kornelis (wartawan Kompas yang tertembak di Bekora, Dili
timur) hilang. Aku juga terharu ketika kamu pun memutuskan mencari sendiri
keberadaan Kornelis, dengan menempuh segala risiko. Aku benar-benar terharu
....”
''Anda, pada suatu titik dalam perjalanan hidup, barangkali pernah
terjebak jalan buntu. Anda terperangkap di persimpangan jalan. Ke kiri
menuju neraka. Ke kanan mengarah ke neraka. Maju ke depan mengantarkan
ke neraka. Berbalik arah Anda akan sampai di neraka juga. Tidak ada lagi
yang bisa Anda lakukan. Anda sungguh mendamba jalan keluar. Dan, Anda
beruntung. Malaikat penolong datang menyelamatkan Anda dari situasi
kritis, dilematis, atau kematian.''
J. Sumardianta, guru sosiologi SMA Kolese de Britto Jogjakarta:
Metafora Peter Kingsley dalam
buku In the Dark Places of Wisdom dengan tepat menggambarkan pergulatan
Cordula Maria Rien Kuntari menekuni jurnalisme. Buku Timor Timur Satu
Menit Terakhir adalah memoar Rien Kuntari saat meliput lepasnya
Timor-Timur dari Indonesia. Wartawan sebuah media ibukota itu mendapat
tugas untuk meliput referendum Timor Timur Juli hingga September 1999.
Jalan
terjal, berkelok, dan berliku ditempuh Rien untuk bisa masuk ke markas
Falintil di hutan Uai Mori, Viqueque guna mewawancarai Taur Matan Ruak.
Tak hanya diterima Wakil Panglima Falintil, sayap militer CNRT, itu,
Rien juga berhasil masuk sarang bawah tanah gerakan pro-kemerdekaan di
lingkungan pegawai pemda. Tak heran bila jauh sebelum jajak pendapat
dilaksanakan, Rien melaporkan prediksi bahwa pro-otonomi bakal kalah
sekitar 70 persen.
Menurut Rien yang sudah mengunjungi lebih 50 negara itu, meliput konflik Timtim paling sulit. Lebih sulit ketimbang perang Teluk, Irak, konflik etnis di Rwanda, dan perang saudara di Vietnam. Sebab, wartawan dianggap bukan orang netral yang berada di luar gelanggang, melainkan sebagai ''pemain'' di tengah arena perang. Rien Kuntari dinilai telah melakukan dosa tak terampuni karena memberi porsi seimbang dalam pemberitaan kepada pihak pro-kemerdekaan. Ia dituduh tidak nasionalis karena menurunkan laporan tentang Falintil tepat pada HUT Falintil 24 Agustus 1994.
Rien dianggap menghapus garis batas tegas yang lama membelah jurnalis menjadi dua kubu: pro-otonomi atau pro-kemerdekaan. Keputusannya menyantuni profesionalisme, kredibilitas, dan netralitas dengan masuk ke markas Falintil telah memudarkan garis demarkasi kelompok wartawan. Berkat keberanian Rien mengambil segala risiko, sesudahnya, hampir seluruh wartawan Indonesia, bahkan TVRI, meliput HUT Falintil di markas kantonisasi mereka.
Status wartawan dengan aspirasi pribadi kadang tidak bisa satu garis. Nasionalisme dengan profesi tidak selalu berjalan seiring. Ancaman teror, intimidasi, penculikan, dan mutilasi pun menghampiri Rien Kuntari. Kalau sampai Rien tidak terpegang, ancam peneror, para wartawan media lain yang akan menanggung risiko. Itu sebabnya, saat terjadi eksodus para wartawan Indonesia ke Jakarta, di Bandara Komoro, Dili, 2 September 1999, tak satu pun yang mau menyapa Rien Kuntari. Bahkan dua karib dan tetangga rumah kontrakan, memalingkan muka pura-pura tidak mengenal Rien. Konon, itulah teror mental bagi wartawan, asing maupun lokal, agar tidak berani bekerja di Timtim. Harapannya, bila terjadi politik bumi hangus, tidak ada lagi saksi mata.
Pada 16 September 1999, Rien kembali ke Timtim mengikuti rombongan Mabes TNI. Timor Loro Sa'e (Negeri Matahari Terbit) sudah luluh lantak secara fisik maupun kejiwaan. Dengan gamblang dilukiskan panorama bekas jajahan Portugis itu sebagai ketenangan sesudah badai yang memusnahkan. Seluruh bangunan fasilitas umum hangus terbakar. Saluran air, listrik, dan telepon putus. Rumah-rumah kaum tajir dengan beranda luas dilalap api dengan nafsu yang sama dengan perataan seng-seng atap orang miskin. Penduduk kocar-kacir tercerai-berai. Gelombang pengungsian terjadi besar-besaran. Teror, pembunuhan, dan penculikan bergentayangan menghantui sekujur negeri. Hukuman telak dari pasukan pendudukan bagi masyarakat yang mau menanggung risiko besar memilih kemerdekaan. Mereka yang bertahan hanyalah kaum perempuan rombeng dan anak-anak memelas.
Timtim menjadi negeri di titik nol pasca pengumuman jajak pendapat yang dimenangi pro-kemerdekaan. Ribuan pengungsi yang menumpuk di Gereja Maria Fatima, Suai, Kabupaten Kovalima diserang kelompok pro-integrasi. Dalam kerusuhan masal itu 27 orang tewas termasuk Romo Tarsisius Dewanto SJ, Pastor Hilario Medeira Pr, dan Pastor Francisco Tavares dos Reis Pr. Romo Dewanto adalah pastor Jesuit dari Magelang yang baru tiga bulan ditahbiskan menjadi imam di Jogjakarta. Dia menjadi martir perdamaian dengan jasad hancur sulit dikenali lagi.
Romo Albrecht Karim Arbie SJ tewas ditembak di halaman Pastoran Loyola, Taibesi, Dili. Jesuit sepuh berkebangsaan Jerman itu dibunuh karena dituduh berpihak pada kelompok pro-kemerdekaan. Sabtu, 25 September 1999, Agus Mulyawan, bersama dua biarawati misionaris Italia, tiga frater calon pastor, dua remaja putri, dan seorang sopir dibunuh secara sadis di Pelabuhan Qom. Jasad para korban ditemukan di Lautem, Kabupaten Los Palos. Pembunuhan Agus bermula dari keinginan wartawan Asia Press itu keluar dari markas Falintil di Uai Mori. Taur Matan Ruak mencegah. Agus bergeming hendak pulang ke Jakarta. Sudah lama ia dipagut rindu pada keluarga.
Kematian Agus kembali menggugah kesadaran Rien Kuntari akan bahaya di pelupuk mata. Agus dan Rien memang target milisi pro-integrasi sejak Agustus 1999. Rien diungsikan Romo Josephus Ageng Marwata SJ ke Palang Merah Internasional (ICRC). Berkat lobi dan jasa baik pastor heroik itulah Rien bisa pulang ke Jakarta. Dia satu pesawat dengan German Mintapradja --satu-satunya juru kamera yang merekam prosesi pemakaman korban tragedi Lautem untuk RCTI.
Sehari setelah dievakuasi paksa ke Jakarta, awal September 1999, Rien mendapat kiriman daftar 14 orang yang dianggap berkhianat berikut hari eksekusi atas mereka. Leandro Isaac dan David Diaz Ximenes masuk dalam daftar. Kedua tokoh CNRT itu selamat karena berhasil dikontak Rien Kuntari. Xanana Gusmao memberi pujian, ''Keputusan dia tetap berada di Timtim contoh nyata bahwa kita tidak pernah bermusuhan dengan rakyat Indonesia.''
Rien Kuntari memang seorang pacifist total. Dia lebih percaya pada jalan damai untuk menyelesaikan sengketa ketimbang kekerasan bersenjata. Inilah sikap dasarnya dalam memandang Timtim. Dia tidak pernah membedakan orang. Siapa pun orang Timtim yang terancam bahaya akan ditolong. Baginya menyelamatkan satu nyawa berarti menyelamatkan seluruh dunia.
Timor Timur sesudah jajak pendapat merupakan negeri yang sangat menjunjung tinggi cinta kasih sekaligus wilayah yang tidak berperikemanusiaan. Pada 2006 terjadi lagi kerusuhan horizontal. Pengusiran besar-besaran masyarakat Loro Sa'e (sektor timur) oleh masyarakat Loro Moro (sektor barat). Dendam kesumat Loro Sa'e kini tinggal menunggu momentum untuk meletus. Konflik horizontal itu dipicu kegeraman Fretelin sebagai pemenang pemilu yang terpaksa jadi partai oposisi. Pemerintahan dan parlemen dikuasai orang-orang yang di zaman pendudukan justru memihak Indonesia.
Memoar jurnalistik Rien Kuntari tentang sejarah dramatis ini merupakan kado indah, menegangkan, dan mengharukan perihal 10 tahun lepasnya Timor Timur. (*)
Menurut Rien yang sudah mengunjungi lebih 50 negara itu, meliput konflik Timtim paling sulit. Lebih sulit ketimbang perang Teluk, Irak, konflik etnis di Rwanda, dan perang saudara di Vietnam. Sebab, wartawan dianggap bukan orang netral yang berada di luar gelanggang, melainkan sebagai ''pemain'' di tengah arena perang. Rien Kuntari dinilai telah melakukan dosa tak terampuni karena memberi porsi seimbang dalam pemberitaan kepada pihak pro-kemerdekaan. Ia dituduh tidak nasionalis karena menurunkan laporan tentang Falintil tepat pada HUT Falintil 24 Agustus 1994.
Rien dianggap menghapus garis batas tegas yang lama membelah jurnalis menjadi dua kubu: pro-otonomi atau pro-kemerdekaan. Keputusannya menyantuni profesionalisme, kredibilitas, dan netralitas dengan masuk ke markas Falintil telah memudarkan garis demarkasi kelompok wartawan. Berkat keberanian Rien mengambil segala risiko, sesudahnya, hampir seluruh wartawan Indonesia, bahkan TVRI, meliput HUT Falintil di markas kantonisasi mereka.
Status wartawan dengan aspirasi pribadi kadang tidak bisa satu garis. Nasionalisme dengan profesi tidak selalu berjalan seiring. Ancaman teror, intimidasi, penculikan, dan mutilasi pun menghampiri Rien Kuntari. Kalau sampai Rien tidak terpegang, ancam peneror, para wartawan media lain yang akan menanggung risiko. Itu sebabnya, saat terjadi eksodus para wartawan Indonesia ke Jakarta, di Bandara Komoro, Dili, 2 September 1999, tak satu pun yang mau menyapa Rien Kuntari. Bahkan dua karib dan tetangga rumah kontrakan, memalingkan muka pura-pura tidak mengenal Rien. Konon, itulah teror mental bagi wartawan, asing maupun lokal, agar tidak berani bekerja di Timtim. Harapannya, bila terjadi politik bumi hangus, tidak ada lagi saksi mata.
Pada 16 September 1999, Rien kembali ke Timtim mengikuti rombongan Mabes TNI. Timor Loro Sa'e (Negeri Matahari Terbit) sudah luluh lantak secara fisik maupun kejiwaan. Dengan gamblang dilukiskan panorama bekas jajahan Portugis itu sebagai ketenangan sesudah badai yang memusnahkan. Seluruh bangunan fasilitas umum hangus terbakar. Saluran air, listrik, dan telepon putus. Rumah-rumah kaum tajir dengan beranda luas dilalap api dengan nafsu yang sama dengan perataan seng-seng atap orang miskin. Penduduk kocar-kacir tercerai-berai. Gelombang pengungsian terjadi besar-besaran. Teror, pembunuhan, dan penculikan bergentayangan menghantui sekujur negeri. Hukuman telak dari pasukan pendudukan bagi masyarakat yang mau menanggung risiko besar memilih kemerdekaan. Mereka yang bertahan hanyalah kaum perempuan rombeng dan anak-anak memelas.
Timtim menjadi negeri di titik nol pasca pengumuman jajak pendapat yang dimenangi pro-kemerdekaan. Ribuan pengungsi yang menumpuk di Gereja Maria Fatima, Suai, Kabupaten Kovalima diserang kelompok pro-integrasi. Dalam kerusuhan masal itu 27 orang tewas termasuk Romo Tarsisius Dewanto SJ, Pastor Hilario Medeira Pr, dan Pastor Francisco Tavares dos Reis Pr. Romo Dewanto adalah pastor Jesuit dari Magelang yang baru tiga bulan ditahbiskan menjadi imam di Jogjakarta. Dia menjadi martir perdamaian dengan jasad hancur sulit dikenali lagi.
Romo Albrecht Karim Arbie SJ tewas ditembak di halaman Pastoran Loyola, Taibesi, Dili. Jesuit sepuh berkebangsaan Jerman itu dibunuh karena dituduh berpihak pada kelompok pro-kemerdekaan. Sabtu, 25 September 1999, Agus Mulyawan, bersama dua biarawati misionaris Italia, tiga frater calon pastor, dua remaja putri, dan seorang sopir dibunuh secara sadis di Pelabuhan Qom. Jasad para korban ditemukan di Lautem, Kabupaten Los Palos. Pembunuhan Agus bermula dari keinginan wartawan Asia Press itu keluar dari markas Falintil di Uai Mori. Taur Matan Ruak mencegah. Agus bergeming hendak pulang ke Jakarta. Sudah lama ia dipagut rindu pada keluarga.
Kematian Agus kembali menggugah kesadaran Rien Kuntari akan bahaya di pelupuk mata. Agus dan Rien memang target milisi pro-integrasi sejak Agustus 1999. Rien diungsikan Romo Josephus Ageng Marwata SJ ke Palang Merah Internasional (ICRC). Berkat lobi dan jasa baik pastor heroik itulah Rien bisa pulang ke Jakarta. Dia satu pesawat dengan German Mintapradja --satu-satunya juru kamera yang merekam prosesi pemakaman korban tragedi Lautem untuk RCTI.
Sehari setelah dievakuasi paksa ke Jakarta, awal September 1999, Rien mendapat kiriman daftar 14 orang yang dianggap berkhianat berikut hari eksekusi atas mereka. Leandro Isaac dan David Diaz Ximenes masuk dalam daftar. Kedua tokoh CNRT itu selamat karena berhasil dikontak Rien Kuntari. Xanana Gusmao memberi pujian, ''Keputusan dia tetap berada di Timtim contoh nyata bahwa kita tidak pernah bermusuhan dengan rakyat Indonesia.''
Rien Kuntari memang seorang pacifist total. Dia lebih percaya pada jalan damai untuk menyelesaikan sengketa ketimbang kekerasan bersenjata. Inilah sikap dasarnya dalam memandang Timtim. Dia tidak pernah membedakan orang. Siapa pun orang Timtim yang terancam bahaya akan ditolong. Baginya menyelamatkan satu nyawa berarti menyelamatkan seluruh dunia.
Timor Timur sesudah jajak pendapat merupakan negeri yang sangat menjunjung tinggi cinta kasih sekaligus wilayah yang tidak berperikemanusiaan. Pada 2006 terjadi lagi kerusuhan horizontal. Pengusiran besar-besaran masyarakat Loro Sa'e (sektor timur) oleh masyarakat Loro Moro (sektor barat). Dendam kesumat Loro Sa'e kini tinggal menunggu momentum untuk meletus. Konflik horizontal itu dipicu kegeraman Fretelin sebagai pemenang pemilu yang terpaksa jadi partai oposisi. Pemerintahan dan parlemen dikuasai orang-orang yang di zaman pendudukan justru memihak Indonesia.
Memoar jurnalistik Rien Kuntari tentang sejarah dramatis ini merupakan kado indah, menegangkan, dan mengharukan perihal 10 tahun lepasnya Timor Timur. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar