“Percuma menjadi religius kalau tidak manusiawi”, daripada beragama
tapi jahat lebih baik berperikemanusiaan meski tidak beragama”. Itulah
logika geram para pembenci agama dan pengusung humanisme. Logikanya
begitu humanis tapi justru seperti atheis. Dan ternyata “jimat” atau
aji-aji pamungkas orang sekuler-liberal dan bahkan atheis untuk
menyerang agama adalah dalih humanisme.
Sejarahnya, memang di Barat telah terjadi perubahan orientasi masyrakat dari teosentris (Tuhan sebagai pusat) menjadi anthroposentris (manusia sebagai pusat). Perubahan itu dianggap sangat revolusioner yang mengiringi perjalanan kebudayaan Barat modern hingga postmodern. Argumentasi mereka begitu mudah diterima. Dengan doktrin empirisisme, Tuhan dianggap tidak real, sedangkan manusia begitu real dan kasat mata. Membela Tuhan, mementingkan Tuhan, menghormati Tuhan atau mensucikan Tuhan dianggap sia-sia dan tidak ada gunanya. Dalilnya “Tuhan tidak perlu dibela karena sudah Maha Kuasa”. Seperti membela Tuhan tapi sejatinya membuka jalan bagi penistan-Nya.
Bukti orientasi antroposentrisme sudah terwakili oleh doktrin kematian Tuhan ala Nietzsche. Benih yang ditabur Nietzsche tahun 1948 menjadi buah masak yang berbentuk Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Ini adalah standarisasi kemanusiaan yang formal dan disepakati banyak Negara pendukung humanisme. Maka dari itu hak-hak asasi manusia benar-benar dominan dan agama-agama tidak lagi diberi ruang.
Karena penyusunan Deklarasi ini tidak melibatkan agama-agama maka
banyak hal yang menjadikannya tidak universal. Terbukti banyak agama
yang tidak puas. Pada bulan Juli tahun 1993 di New York diadakan
Peluncuran acara Project on Religion and Human Right. Acara ini
merupakan reaksi agama-agama terhadap DUHAM dan merupakan prakarsa
untuk merevisinya. Bukan hanya itu pada ulang tahun ke 50 DUHAM dan
ulang tahun ke 50 Fakultas Religious Studies universitas
McGill, Montreal, Canada berupaya merevisi DUHAM itu pun terulang lagi.
Revisi itu menghasilkan dokumen yang disebut Universal Deklaration of Human Right by the World Religions. Setelah
itu berturut-turut acara revisi merivsi berlanjut di berbagai tempat
seperti di California, New York, Durban, Barcelona, Paris dan Terakhir
di Genting Highland, Malaysia pada bulan November 2002. Anehnya, acara
ini disaksikan oleh pihak UNESCO. Resmilah sudah bukti perseteruan
antara kaum humanis dan kaum religius.
Terpisah dari respon agama-agama, di kalangan umat Islam
Negara-negara Islam seperti Sudan, Iran, Saudi Arabia, Mesir dsb, juga
turut menyadari dominasi humanisme dalam DUHAM. Mereka menganggap DUHAM
gagal memasukkan pertimbangan konteks kultural dan religius dari
Negara-negara non-Barat. Utusan Negara Iran di PBB tahun 1981, Said
Rajaie-Khorassani malah menyatakan bahwa “DUHAM adalah hasil pemahaman
sekuler dari tradisi Yahudi Kriten yang tidak dapat ditrapkan kedalam
Islam”.
Tiga tahun lebih awal dari acara di New York, umat Islam mengeluarkan Deklarasi tandingan yang disebut Cairo Declaration on Human Rights in Islam (CDHRI). Deklarasi
yang diadakan oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 5 Agustus
1990 ini diikuti 45 menlu Negara OKI. Intinya memberi gambaran hak-hak
asasi manusia menurut Islam yang sumber satu-satunya adalah syariah
Islam.
Jika logika sekuler, liberal dan atheis diatas benar, maka isi
Deklarasi Cairo itu mestinya hanya mensucikan Tuhan belaka dan
menginjak-injak kemanusiaan. Tapi ternyata tidak dan logika sekuler
liberal atheis itu salah. Bahkan deklarasi Cairo itu tidak ekslusif
untuk umat Islam. Dalam salah satu pasalnya menyatatkan “Diskriminasi
berdasarkan ras, warna, bahasa, kepercayaan, seks, agama, afiliasi
politik, status sosial atau pertimbangan lainnya adalah dilarang”.
Bahkan perlindungan jiwa manusia adalah kewajiban syariah. Maka dalam
situasi perang, mereka yang tidak terlibat perang seperti orang tua,
wanita and anak-anak, yang terluka dan yang sakit dan juga tawanan
perang, berhak untuk diberi makan, tempat tinggal dan keamanan serta
pelayanan kesehatan.
CDHRI juga memberi hak kepada laki-laki dan wanita hak untuk menikah
tanpa mempertimbangkan ras, warna kulit atau kebangsaan, tapi tetap
mempertimbangkan agama. Selain itu wanita juga diberi penghargaan dan
penghormatan yang sama sebagai manusia, hak untuk menjalankan
pekerjaannya, hak-hak sipil, kemandirian financial, dan hak untuk
mempertahankan nama dan kekeluargaannya, meski tidak sama dalam segala
hal.
Dalam pasal ke 10 disebutkan bahwa Islam adalah agama yang sempurna.
Melakukan segala bentuk pemaksaan terhadap manusia atau mengeksploitir
kemiskinan atau kebodohan untuk mengkonversikan seseorang dari satu
agama kepada agama lain atau atheism adalah dilarang. Masih banyak lagi
pasal-pasal yang membela manusia, tapi tidak serta merta menistakan
agama apalagi Tuhan.
Baca misalnya pasal 22 yang berbunyi: a) Setiap orang memiliki hak
untuk mengekspresikan pendapatnya secara bebas dengan cara yang tidak
akan bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. b) Setiap orang berhak
untuk membela yang benar, dan mendakwahkan yang baik, serta
memperingatkan hal-hal yang salah dan mungkar sesuai dengan norma-norma
syariah Islam. c) Informasi adalah kebutuhan vital
bagi masyarakat. Ia tidak boleh dieksploitir atau disalah gunakan
sehingga menodai kesucian dan penghormatan terhadap Nabi, merendahkan
nilai-nilai moral dan etika, atau memecah, merusak atau membahayakan
masyarakat atau melemahkan keimanan. d) Memicu kebencian yang bersumber
dari kebangsaan atau doktrin keagamaan atau melakukan sesuatu yang
mungkin memprovokasi segala bentuk diskriminasi ras adalah dilarang.
Dari pasal 22 diatas terbukti bahwa memberi tempat pada agama tidak
berarti menistakan manusia. Sebab syariah adalah sumber segala perlakuan
terhadap manusia, Dalam syariah terdapat maslahat yang telah didesain
oleh Tuhan melalui wahyu. Tapi tidak semua yang dianggap maslahat
manusia dapat dibenarkan syariat. Pelacuran, homoseks, lesbianism, nikah
beda agama bagi pembenci agama adalah maslahat, tapi tidak dibenarkan
syariat. Jadi logikanya yang benar semakin religius seseorang justru ia
semakin manusiawi, tapi semakin humanis seseorang justru semakin atheis.
Sungguh nestapa. Innal insana layatgha an ra’ahustaghna.
Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, Direktur Insist Jakarta. Sumber: Insistnet.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar