Sabtu, 13 Oktober 2012

"YESUS DALAM PERSPEKTIF BUDAYA MELANESIA"


MENEMUKAN WAJAH YESUS DALAM BUDAYA PAPUA.[1]
(Suatu kajian teologi Kontekstual untuk menghadirkan Yesus sebagai seorang Papua)
Oleh : Dr. Karel Phil Erari.[2]

Pengantar. 

Dalam decade 70-an Ketika Pater Peters menjadi Rektor Sekolah Tinggi Theologi Fajar Timur dan saya menjadi rektor STT-GKI I S Kijne (1976-1977) terbangun suatu wacana untuk mendisain  suatu kerja sama Akademis antara kedua Lembaga Pendidikan Theologia yang diasuh oleh GKI di Tanah Papua dan Ke-empat Keuskupan di Papua.
Dr. Karel Phil Erari
Salah satu motif daripada wacana tersebut ialah mendirikan suatu Konsorsium Pendidikan Teologi yang berbasis Budaya Melanesia, khususnya Papua.  Wacana tersebut, nampaknya belum siap untuk mendapat persetujuan dari Uskup Muninghof maupun oleh pimpinan GKI di Tanah Papua. Kendati demikian aktivitas kerjasama kedua lembaga pendidikan Teologia itu terus berlangsung dalam  bentuk pertukaran tenaga dosen dan kuliah gabungan antar mahasiswa, khusus dalam bidang Biblika dan Sistematika. Dr J Blommendaal, ahli PL di STT GKI mengasuh bidang studi biblika bagi mahasiswa kedua institusi Teologi, dan bidang Sistematika, Etika saya asuh bersama Dosen Etika dari STFT.
Pada tahun 1977, sebagai salah satu  bentuk kerjasama STFT- STT (di Irian Jaya) dan Melanesian Institute (MI) serta Melanesian Association of Theological Schools, (MATS) di PNG,  diterbitkan suatu journal , dengan judul  POINT 1977 dengan memberi fokus pada Christ in Melanesia. Dalam terbitan POINT 1977 tersebut, sejumlah artikel memuat berbagai kajian dan wacana tentang Wajah Yesus dalam Budaya Melanesia. Dari artikel Pdt. Hans Marthin Thimme, dosen PB dari STT GKI, yang akan  menjadi salah satu topic dalam seminar ini, suatu analisis dan interpretasi disajikan tentang Mitologi Koreri sebagai suatu kepercayaan Agama Adat dikalangan suku suku Biak Numfor sampai kepulauan Raja Ampat. Mitologi Koreri merupakan salah satu gerakan Messianis yang bernuasa “Cargo Cult”.
Perjumpaan Dr Nico dan saya dalam pesawat Garuda beberapa waktu yang lalu, membuahkan suatu gagasan untuk melakukan kajian secara baru tentang berbagai tantangan yang kini dihadapi di Papua, sebagai konteks berteologi dan bergereja. Sangat banyak persolan sosial politik dan budaya yang begitu krusial dan bahkan memperlemah peran Gereja Gereja untuk melakukan tugas Pekabaran Injil dan pewartaan di Tanah ini. Saya menyambut gagasan Dr Niko Syukur  dengan mempersiapan paper ini  sebagai pengantar diskusi tentang Menemukan Wajah Yesus di dalam Budaya Papua, dalam perspektif Membangun suatu Theologi Papua, sebagai jawaban atas Tantangan yang dihadapi oleh rakyat dan ummat Tuhan di negeri ini.

1. Budaya Papua sebagai Konteks Pempribumian Theologi di Papua.
Untuk waktu yang cukup panjang, sejarah Pekabaran Injil di Tanah Papua mengalami tantangan karena Pendekatan dan Komunikasi yang terjadi antara para Missionaris dengan masyarakat local menghadapi benturan baik dari bahasa maupun pendekatan yang bersifat menaklukan budaya setempat. Injil yang diberitakan dan ditanamkan mengambil pola menguasai dan menaklukan kerangka beragama dari masyarakat local, bahkan cenderung “membaratkan” budaya dan seluruh pola dan gaya hidup tradisional, yang dianggap “kafir” yang harus dikristenkan. Agus Alua antara lain mengkonstatir semboyan Gereja Katolik yang juga diadopsi oleh gerakan Pietisme bahwa : Extra Eccelesia Nulla Salus (Di luar Gereja tidak ada Keselamatan).[3] Diantara para Teolog Indonesia, kita menyebut antara lain disertasi dari Dr I Wayan Mastra, Bishop Gereja Bali, yang mengkritik Hegemoni Kekristenan yang mengklaim Keselamatan itu sebagai privilege hanya bagi orang Kristen. Mastra mempertahankan Disertasinya dengan judul : Salvation of the Non Believers, Missionary Critique to Hendrik Kraemer.[4] Kritik Mastra diatas, merupakan suatu upaya untuk mencanangkan Theologi Kontekstual yang berbasis pada Budaya Bali. Seminar hari ini merupakan bagian integral dari tugas Pendidikan Theologi, a.l. seperti STFT untuk terus mengkaji dan membangun suatu piranti atau kerangka Acuan Theologi bagi lahirnya Theologi Papua, ditengah perjuangan untuk mempribumikan Gereja di Tanah Papua. Hanya dalam piranti itulah maka Wajah Yesus akan mewarnai seluruh amanat dan tugas Gereja dan Teologi di Papua.[5]
Apa yang merupakan isi atau content dari Budaya Papua. Konstruksi Budaya Papua, khususnya yang terdapat di semua kompleks Budaya yang terbentang di Kawasan Utara, sampai ke Selatan yang melintasi Daerah Pegunungan dari Timur sampai Barat, Pesisir Pantai sampai ke kepulauan di Teluk Cendrawasih hingga Raja Am pat, pada umumnya memiliki suatu konstuksi Budaya dalam range Budaya Melanesia yang terbentang dari Kepulauan Tanna di Pasifik hingga kepulauan Sangir Talaud di Utara Sulawesi dan Kepulauan Soe di NTT. Tanah Papua, dari Raja Am pat di Barat hingga Merauke dan Jayapura di Timur, merupakan satu kesatuan Budaya yang tak terpisahkan dari Budaya yang terdapat di PNG. Beberapa ciri dan motif Budaya Papua yang di identifikasi, a.l:
  • Relasi spiritual manusia dan alam: Motif Ekologis. Seorang manusia Papua, selalu menjadi bagian integral dari alam sekitar. Bagi kalangan suku Amungme, gunung yang diberi nama Ertsberg dan Grass berg, adalah Kepala dari sang Mama orang Amungme. Kehadiran PT Freeport Indonesia merupakan intervensi asing yang telah membunuh Mama orang Amungme. Kepala sang Mama sebagai pusat spiritual mitologi Hai, telah dikuras dan di preteli oleh teknologi Barat dengan mesin mesin raksasa. Kedua sungai, seperti Minarjeri dan Akwa yang mengalir dari gunung merupakan dua susu atau payu dara mama yang sudah di cermari oleh sisa pasir yang setiap hari mengalirkan 120 ribu metric ton. Freeport telah membunuh Mamanya orang Amungme. Sementara itu pesisir pantai dan hutan bakau serta sungai yang mengalir di Tanah Komoro, telah membunuh Air dan Sungai orang Komoro sebagai leluhur Komoro. Di seluruh mitologi kompleks Budaya Melanesia di Papua, alam, berupa Tanah, Sungai, Gunung, Danau, Batu, Pesisir pantai, Pulau adalah unsur unsur alam yang menjadi sumber kehidupan dan asal usul manusia Papua. Dalam motif Ekologis ini, maka Budaya Papua sangat ekosentris, baik dengan ciri Continental maupun Maritime. Dalam kompleks Budaya Genyem, manusia lahir dari komonen tanah, dalam kompleks budaya Koreri, manusia lahir dan lahir baru melalui buah dan mengalami transformasi dari api dan kayu Kabui atau Kayu besi; dalam kompleks budaya Marind Anim di Merauke, yang berbasis pada dewa Dema, manusia berasal dari ikan gabus. Dalam kompleks budaya Kuri Pasai, terdapat mitologi lahirnya manusia dari perkawinan Ikan Barakuda dan Ular.[6] Sebagai bentuk nyata dari Motif Ekologis ini ialah bahwa hampir semua lagu lagu dari suku suku di Papua, sangat bernuansa ekologis, alam, seperti pemujaan atas sungai ( Waido Lagari, dari Makimi, Nabire), semua lagu di Teluk Cendrawasih, Biak, Serui.
  • Motif Sosial Politik. Dalam motif Sosial Politik ini, terdapat unsur Kecurigaan, ketakutan dan konflik. Unsur Kecurigaan terhadap manusia di luar lingkaran Budaya dan etnisnya merupakan ciri dari semua suku suku dalam Budaya di Papua, bahkan diseluruh rumpun Budaya Melanesia. Ciri kecurigaan ini merupakan suatu mekanisme untuk mempertahankan identitas Budaya dan harga diri suatu kelompok masyarakat. Lapisan dasar Budaya Papua ini selalu kritis terhadap semua unsur baru dari luar, dan dapat berunjung pada penolakan dan konflik bahkan perang sebagai mekanisme untuk mempertahankan martabat dan jati diri kelompok. Itu bisa berbasis kampung atau kumpulan kampung yang bertalian secara sosial ekonomi. Motif kecurigaan tadi sering disertai unsur penghianatan sebagai salah satu nilai heroik, a,l. seperti yang tergambar dalam kisah Peace Child di kalangan suku Sawi, yang ditulis oleh Don Richardson.[7] Tokoh Yudas dalam Injil, merupakan pahlawan bagi suku Sawi, yang kemudian ditafsirkan secara Teologis bahwa tanpa Yudas, Kristus tidak akan disalibkan. Yudasnya mendapat peran positif dalam budaya suku Sawi. Dalam motif Sosial Politik ini, nuansa kekerasan sangat besar sehingga menyebabkan orang Papua diberi stigma atau stereotype; kasar dan suka pada konflik, kekerasan dan bahkan sampai pada perang suku. Kultur kekerasan yang menonjol dalam budaya Papua, antara lain dipengaruhi oleh motif ekologis diatas, dimana alam yang keras, buas dan luas itu harus dijelajahi dengan sikap yang keras. Sejalan dengan motif ekologis itu, sejarah pendudukan dan penjajahan Belanda, Jepang dan kini oleh Indonesia, telah menciptakan kultur kekerasan sebagai mekanisme defensive terhadap kekuatan asing dan dari luar Budaya Papua. Dalam motif sosial politik ini, budaya kekerasan kini sangat nampak dalam dinamika rakyat, terutama generasi muda yang menuntut perobahan dan transformasi sosial politik di Papua. Agenda Merdeka telah menjadi panji perjuangan, dan Bendera Bintang Kejora dijadikan ikon perjuangan.
  • Motif Agama dan Spritualitas yang bercorak Cargo Cult dan Gerakan Messianis; Orang Papua dalam kompleks Ras Melanesia, memiliki karakter yang diwarnai oleh spritualitas Agama Adat. Dalam Point 1977 tentang Christ in Melanesia, Pdt. Hans Marthin Thimme memberi suatu analisis terhadap mitologi Koreri yang bermotifkan Gerakan Messianis, dan dapat dikategorikan sebagai suatu gerakan Pembebasan secara politik. Dalam analisis Agus Alua keseluruhan agama Adat yang hidup di Melanesia, memiki ciri Keselamatan.[8] Konsep Keselamatan selalu melekat erat dalam setiap mitologi Agama agama Melanesia. Bahkan dalam kerangka konsep keselamatan dalam agama Adat orang Papua, telah menjadi pintu masuk atau connecting point bagi berita Alkitab tentang Keselamatan dalam Kristus. Motif Agama dan Spiritualitas yang berciri Gerakan Messianis yang disebut Cargo Cult merupakan salah satu lapisan kultur yang sangat kuat bagi perjuangan menuntut keadilan, Hak Azasi Manusia, kebenaran dan rekonsiliasi di Papua.
2. Urgensi lahirnya Teologi Pembebasan di Papua. 
Berangkat dari ketiga Motivasi dasar diatas maka secara Teologis Gereja gereja di Tanah Papua, melaksanakan amanat Pekabaran dan Pewartaan dalam semangat Pembebasan atau Liberation dalam Perspektif Melanesia. Unsur-unsur yang nampak dalam peradaban orang Papua, diwarnai oleh rasa kecurigaan, ketakutan, kegelapan, dunia tradisional, kebencian, konflik, sukuisme, sinkretisme, apatisme, kemiskinan, kemalasan, kebodohan, konflik antar sesama, ancaman HIV/AIDS yang mematikan, pelanggaran HAM dll. Suatu Teologi Pembebasan bagi Rakyat dan Tanah Papua menjadi suatu urgensi, karena unsur unsur seperti yang merupakan potret sosial dari rakyat Papua, merupakan tantangan dalam membangun suatu masyarakat yang terbuka sesuai prinsip prinsip Injil; kasih, keadilan dan perdamaian; serta suatu masyarakat dunia yang dikuasai oleh prinsip prinsip keadilan buat semua secara hukum, keterbukaan atau transparansi dan akuntabilitas serta unsur partisipatif. Gereja dan pendidikan Teologi, berada di jalan diatas, yakni menjadi Gereja yang membebaskan dan Pendidikan Teologi untuk Pembebasan. Ketiga motivasi Budaya yang menyangkut motif Ekologis menuntut suatu gerakan untuk mendorong Gereja Gereja dan pendidikan Teologi menjadi basis basis pembebasan atas lingkungan Hidup yang semakin rusak, karena motif budaya yang berbasis ekologis itu kini terancam rusak dan binasa, menyangkut hutan, sungai, danau maupun laut. Pembebasan menjadi urgensi ketika motif sosial politik yang mewarnai budaya Papua, menuntut perobahan dan transformasi yang menyeluruh. Rakyat Papua yang selama satu abad berada dibawah pendudukan dan penjajahan unsur asing (Belanda, Jepang dan Indonesia) telah kehilangan identitas dan budayanya. Budaya Papua dengan ketiga Motif dasar diatas sudah tidak utuh bahkan manusia dan alam Papua telah mengalami marginalisasi dan kerusakan yang sistematis.[9] Dalam perspektif Pemanasan Global dan dampak Climate Change, Gereja dan pendidikan Teologi dipanggil untuk menjadi institusi yang berbasis konservasi dan ekologis, dalam terang Teologi Pembebasan .[10]

Teologi pembebasan tadi juga merupakan suatu keharusan dalam merespons kekuatan spiritualitas agama adat yang bercirikan Cargo Cult dalam semangat Gerakan Messianis. Dalam perkembangan GKI misalnya, kini menghadapi kecendrungan warga Gereja yang kembali kepada paham Koreri. Hal ini mencerminkan gejala Sinkretisme legitim.[11] 
3.  Menemukan Wajah Yesus dalam Budaya Papua.
Dalam semangat lahirnya Teologi yang berbasis pada Budaya Papua atau Teologi Papua, maka corak dan profil serta amanat Gereja dibidang Kesaksian (Marturia), Pelayanan (Diakonia) dan Persekutuan (Koinonia)nya hendaknya mengakar pada Budaya dan Realita alam dan manusia yang hidup di atas Tanah Papua. Wajah Gereja gereja di Papua, sangat bernuansa Barat ( Italia, Swiss, Belanda dan Jerman). Dari bangunan dan konstruksi sampai baju dan ritual, termasuk lagu lagu dan bentuk bentuk kesaksian bercorak Barat.
Pempribumian atau Indigenisasi merupakan respons yang sudah digumuli oleh Gereja gereja, baik di PNG maupun di Papua, seperti paparan Joe Gaquare dalam artikelnya di Point 1977 tentang : Indigenization as Incarnation: The Concept of Melanesian Christ. [12]Seluruh penginjilan di Papua dengan pola Barat atau Westernisasi oleh semua badan Sending, hendaknya mengalami suatu proses pempribumian atau Kontekstualisasi, dimana Injil benar benar berakar dalam Budaya Melanesia atau Budaya Papua.
Dalam terang pempribumian atau indigenisasi itulah maka tema utama yang hendak diangkat dalam seminar inilah Menemukan Wajah Kristus dalam Budaya Papua. Suatu tema yang secara teologis harus dibangun diatas piranti Budaya seperti yang dipaparkan sebelumnya. Wacana terhadap Konsep tentang Kristus yang kontekstual, telah lahir di kalangan Teolog Kulit Hitam di Amerika Serikat, seperti James Coon, dalam Teologi Hitam atau Black Theology. Dalam kerangka Theologi Hitam itu, lahir argumentasi dan motivasi dasar Teologi bahwa Secara Biologis, Yesus lahir sebagai anak Yahudi dalam kultur Semit, tetapi Secara Teologis, Yesus adalah seorang yang berkulit hitam, yang solider dengan perjuangan pembebasan orang kulit hitam di AS maupun di Afrika.

Gerakan mengkontekstualisasikan Yesus dengan dunia dan masyarakat dalam budaya di Korea, India , China, juga telah mampu melahirkan wajah Yesus dalam budaya local. Langkah langkah seperti memberi inspirasi bagi Gereja Bali untuk memBalikan Kristus. Di Korea lahir Teologi Minjung dimana nasib rakyat yang miskin menderita merupakan konteks Gereja Korea hadir dan melayani. Di Bali, Dr Mastra mengembangkan teologi Mangga.
Bagaimana Wajah Yesus digambarkan dan kehadiran atau presensia Kristus direfleksikan dalam budaya Papua?.
 
Pertama, Gereja dan Teologia di Papua, harus melakukan Interpretasi atas Kristus dan AjaranNya dari text yang ditulis dalam budaya Semit oleh para Murid dan Pengikut Yesus mula-mula, kepada konteks Melanesia, khususnya Papua, sebagai wilayah dimana Injil itu ditanam dan bertumbuh, diberitakan dan hadir. Tugas Interpretasi tadi merupakan peranan dari semua pusat pendidikan Teologia, seperti STFT, STT GKI, STT Baptis maupun STT Waterpos. Wajah Yesus orang Nasareth harus hadir dalam profil dan wajah seorang Papua yang secara Theologis dan Spritual, lahir dan hidup bersama orang Papua, dalam keseluruhan konteks, di gunung, danau, hulu sungai, di pinggir pantai dan di pulau pulau.[13] Yesus dapat digambar sebagai laki laki Papua dengan rambut kribo dan berjanggut hitam dengan memakai cawat atau koteka. Dengan  wajah seperti Yesus , Ia hadir sebagai orang Papua yang solider sama seperti yang digambarkan Paulus dalam Pilipi 2 : 1-11, suatu nyanyian tentang solidaritas Allah dalam diri Kristus yang turun ke titik yang paling rendah untuk menyelamatkan manusia.

Pdt. Hans Marthin Thimme telah berhasil melakukan suatu interpretasi tentang mitologi Koreri dengan mengangkat tokoh Mananarmakeri yang tadinya adalah manusia biasa (dengan kaskado dan tua) telah mengalami suatu proses transformasi melalui api, sehingga menjadi muda dan tanpa kaskado, menjalani penolakan sehingga berhijra ke Barat, tetapi meninggalkan pesan profetis bahwa akan kembali setelah 7 generasi. Kini mitologi Koreri telah menjadi gerakan Koreri dengan menggabungkan elemen Agama Adat dan unsur politik. Wajah Kristus di Biak dan sekitarnya diinterpretasikan dalam diri seorang tokoh Mansren Manggundi.[14] 

Tugas Teologi tentu saja tidak berhenti pada aspek Kontekstualisasi Yesus dalam wajah seorang Papua. Pembaruan Liturgis harus segera dilakukan dengan bagaimana menghadirkan symbol symbol Primer dalam Liturgi dan sacramen seperti Roti dan Anggur. Di Pasifik symbol- symbol  primer ekaristi, dari anggur dan roti diganti menjadi Kelapa dan air Kelapa. Di kalangan GKI di Tanah Papua, symbol primer digantikan dengan suburu atau petatas, keladi dan air putih.

Tugas pembaruan Liturgis menjadi penting agar lingkungan beribadah, gedung ibadah, interior, pakaian jabatan, nyanyian serta gaya berkotbah dan bahasa yang dipakai adalah bahasa adat dan suku masing masing. Alat pemberian persembahan atau derma, offering tidak dalam bentuk pundi pundi, tetapi disesuaikan dengan bejana atau keranjang dan noken dari budaya Papua. Proses penyerahan dermapun dapat dikaitkan dengan ritual pemberian persembahan kepada Yang Maha Tinggi, Mansren Nanggi.
Gereja dan Teologi di Papua, didorong untuk menulis secara baru peristiwa Kelahiran Kristus dan Intisari Ajaran Kristus, dalam perspektif Melanesia khusus Papua.

Penutup.

Menuju Gereja dan Teologi yang bernuansa Ekologis dan berbasis Konservasi. 

Bertolak dari Relasi Manusia dan Alam sebagai Motif Ekologis bagi rancang bangun Teologi  Papua, maka salah satu respons masakini dari Gereja dan Teologi ialah bagaimana menyikapi phenomena Pemanasan Global dan dampak Perobaan Iklim sebagai tugas Teologi yang tak bisa ditawar tawar lagi. Dampak Perobahan Iklim telah mencapai titik dimana Dunia kini sedang menghadapi Climate Collapse.
Kehancuran Planit kita ini telah mendorong Teologi untuk membangun suatu paradigma baru Berteologi. Yakni paradigma membangun relasi baru antara Manusia dan Alam. Hubungan spiritual antara Species hendaknya menjadi bagian integral dari Missi Gereja sesuai Markus 16:15…………Memberitakan Injil kepada seluruh makluk, yang didasari atas amanat Penciptaan dalam Kejadian 2:15: …………..Tugas mengusahakan dan memelihara. Alam yang sudah dieksploitir dan memasuki tahap kehancuran ini, antara lain diakibatkan oleh Teologi Protestan abad 15 yang mendapat legitimasi dari Kejadian 1: 27-29….. Menguasai dan Menaklukan. 

Hanya dengan paradigm baru ini, Gereja dan Teologi di Papua, akan memelihara Budaya dan Alam di Papua, menjadi rumah bagi Kristus sebagai seorang Papua yang solider dengan perjuangan orang Papua mendirikan tanda tanda Kerajaan Allah yang membebaskan di Tanah Papua, sehingga terciptalah "syaloom" seperti yang digambarkan pemazmur 85 : 10 - 13 “Sesungguhnya keselamatan dari pada-Nya dekat pada orang-orang yang takut akan Dia, sehingga kemuliaan akan diam di negeri kita. Kasih dan kesetiaan akan bertemu, keadilan dan damai sejahtera akan bercium-ciuman. Kesetiaan akan tumbuh dari bumi, dan keadilan akan menjenguk dari langit. Bahkan Tuhan akan memberikan kebaikan, dan negeri kita akan memberi hasilnya.”

Abepura, 20 Mei 2012.


Daftar Pusaka:

Karel Phil Erari., Tanah Kita, Hidup Kita, Eko Teologi dalam Perspektif Melanesia, PSH, Jakarta 1977.
--------------------, Yubileum dan Pembebasan Menuju Papua Baru, Aksara Karunia, Gramedia, Jakarta 2006.
Agus Alua, Karakteristik Dasar Agama Agama Melanesia, STFT Fajar Timur, 2006.
Dr. I Wayan Mastra., Salvation of Non Believers, Missionary Critique to Hendrik Kramer, Unpublished Dissertation,Dubuque USA 1971.
Point 1977, Christ in Melanesia, MATS and MI, Goroka 1977.
[1] Paper disampaikan pada Loka Karya tentang Menemukan Wajah Yesus dalam Budaya Papua, STFT, 20 Mei 2012.
[2] Dosen STT-GKI Abepura, kini sebagai Ketua PGI dan  Senior Papua Policy Adviser on Marine  bagi  Konservasi Internasional Indonesia, Konservasi Dunia dan WWF.
[3] Agus Alua., Karakteristik Dasar Agama Agama Melanesia, Biro Penelitian STFT, 2006, Jayapura, hal 1-6.
[4] I Wayan Mastra.,  : Salvation of the Non Believers; Missionary Critique to Hendrik Kraemer, Non Publication Dissertation, Dubuque University, 1971.
[5] Idem
[6]  Lihat Karel Phil Erari., Tanah kita Hidup Kita, PSH Jakarta 1997.
[7] Don Richardson, Peace Child; dikalangan  suku Sawi, Irian Jaya, 1974.
[8] Lihat Agus Alua, opcit  hal. 47-55.
[9] Bandingkan laporan Gereja Gereja Papua kepada SBY, 16 Desember tentang  lahirnya Bayi Nasionalisme Papua, sebagai hasil kawin Paksa Indonesia dan Papua.
[10] Phil Erari., Urgensi l ahirnya Teologi Lingkungan Hidup, Serui 26 April 2001.
[11]  Dr.J. Blommendaal mencirikan gerakan kembali pada agama suku seperti Koreri, sebagai bentuk Sinkretisme Legitim.
[12]  Joe Gaquare., Indigenization as Incarnation: the Concept of Melanesian Christ, Point 1977 Goroka PNG hal. 146-152.
[13] Kisah kelahiran Kristus dalam Lukas 2, dapat di tulis dalam suatu konteks di Papua.
[14] Lihat analisis tentang tokoh Koreri oleh Phil Erari dalam Tanah Kita, Hidup Kita, PSH, Jakarta 1977, hal. 200-215.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Loading...