UPDATE Kabar Papua - Minggu II November 2012 (5-10 November 2012)
UU Otonomi Khusus Papua Digugat:
nasional - Senin, 5 November 2012 | 14:32 WIB
Aspirasi Pemekaran Papua Tengah Dilanjutkan Kemendagri
Sabtu, 10 November 2012 - 08:44:56 WIB
Tunggakan Listrik Hingga Rp5 Miliar, PLN Ancam Putus Sambungan Pelanggan:
Media Indonesia, Sabtu, 10 November 2012 09:40 WIB
Talenta Papua:
Kompas, Sabtu, 10 November 2012
Penegakan HAM di Papua Barat Masih Lemah:
Jawa Pos, Sat, 10 Nov 2012
Kisah di Balik Tragedi Lampung Selatan:
Jawa Pos, Sat, 10 Nov 2012
Politisi Demokrat Anggap Laporan Dahlan Menyakitkan:
Radar Sorong, Sabtu, 10 November 2012 , 03:45:00
2013 Ada Program Amirmasi di 32 PTN:
Radar Sorong, Sabtu, 10 November 2012 , 00:29:00
33 Anggota Panwaslu Dilantik:
Radar Sorong, Sabtu, 10 November 2012 , 00:34:00
=============================================
Bacaan Online terlaris 10 November 2012, Hari Pahlawan Nasional RI
Suatu hal yang lumrah apabila kita melihat seseorang berkorban demi apa
yang dicintainya, demikian juga Bung Karno. Demi Indonesia Bung Karno
mengabaikan penyakit yang menggerogoti dirinya.
Bung Karno
selalu tampil prima dihadapan publik, walau pada hakekatnya dia dalam
keadaan lemah. Hal tersebut dilakukan demi menjaga rasa percaya diri
seluruh rakyat Indonesia.
Berulang-kali dokter pribadinya
memberi nasihat kepada Bung Karno. Ini terkait dengan sakit ginjalnya,
yakin makin para di akhir tahun 60-an.
"Kalau Bapak bisa tenang sedikit, dan tidak berteriak-teriak, niscaya Bapak tidak akan mendapat ulcers."
Yang dimaksud dokter adalah peradangan pada lambung akibat sakit
ginjalnya itu. Baru saja dokter berhenti memberikan nasihatnya, Bung
Karno meradang dan berteriak, "Bagaimana aku bisa tenang kalau setiap
lima menit menerima kabar buruk?"
Berteriak adalah "hobi"
Sukarno. Ia berteriak untuk memberi semangat rakyatnya. Ia berteriak
juga untuk mengganyang musuh-musuh negara. Jika konteksnya adalah
membakar semangat rakyat, maka Bung Karno adalah seorang orator ulung.
Bahkan paling unggul pada zamannya. Sebaliknya, jika ia berteriak
karena terinjak dan teraniaya harga dirinya sebagai presiden dan kepala
negara, maka Sukarno adalah presiden paling berani yang pernah hidup di
atas bumi ini.
"Inggris kita linggis! Amerika kita setrika!", atau "Go to hell with your aid" yang ditujukan kepada Amerika.
"Malaysia kita ganyang. Hajar cecunguk Malayan itu! Pukul dan sikat
jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat
itu", yang ini saat Indonesia berkonfrontasi dengan di negara boneka
bernama Malaysia.
Bukan hanya itu. Organisasi dunia yang bernama Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pun pernah dilawan.
Tanggal 20 Januari 1965, Bung Karno menarik Indonesia dari keanggotaan
PBB. Ini karena ketidak-becusan PBB dalam menangani persoalan
anggota-anggotanya, termasuk dalam kaitan konflik Indonesia – Malaysia.
Ada enam alasan yang tak bisa dibantah siapa pun, termasuk Sekjen PBB
sendiri, yang menjadi dasar Indonesia menarik diri dari keanggotaan PBB.
Pertama, soal kedudukan PBB di Amerika Serikat. Bung Karno mengkritik,
dalam suasana perang dingin Amerika Serikat dan Uni Soviet lengkap
dengan perang urat syaraf yang terjadi, maka tidak sepatutnya markas PBB
justru berada di salah satu negara pelaku perang dingin tersebut. Bung
Karno mengusulkan agar PBB bermarkas di Jenewa, atau di Asia, Afrika,
atau daerah netral lain di luar blok Amerika dan Soviet.
Kedua,
PBB yang lahir pasca perang dunia kedua, dimaksudkan untuk bisa
menyelesaikan pertikaian antarnegara secara cepat dan menentukan. Akan
tetapi yang terjadi justru PBB selalu tegang dan lamban dalam menyikapi
konflik antar negara. Indonesia mengalami dua kali, yakni saat
pembebasan Irian Barat, dan Malaysia. Dalam kedua perkara itu, PBB tidak
membawa penyelesaian, kecuali hanya menjadi medan perdebatan.
Selain itu, pasca Perang Dunia II, banyak negara baru, yang baru saja
terbebas dari penderitaan penjajahan, tetapi faktanya dalam
piagam-piagam yang dilahirkan maupun dalam preambule-nya, tidak pernah
menyebut perkataan kolonialisme. Singkatnya, PBB tidak menempatkan
negara-negara yang baru merdeka secara proporsional.
Ketiga,
Organisasi dan keanggotaan Dewan Keamanan mencerminkan peta ekonomi,
militer dan kekuatan tahun 1945, tidak mencerminkan bangkitnya
negara-negara sosialis serta munculnya perkembangan cepat kemerdekaan
negara-negara di Asia dan Afrika. Mereka tidak diakomodir karena hak
veto hanya milik Amerika, Inggris, Rusia, Perancis, dan Taiwan. Kondisi
yang tidak aktual lagi, tetapi tidak ada satu orang pun yang berusaha
bergerak mengubahnya.
Keempat, soal sekretariat yang selalu
dipegang kepala staf berkebangsaan Amerika. Tidak heran jika hasil
kebijakannya banyak mengakomodasi kepentingan Barat, setidaknya
menggunakan sistem Barat. Bung Karno tidak dapat menunjung tinggi sistem
itu dengan dasar, "Imperialisme dan kolonialisme adalah anak kandung
dari sistem Negara Barat. Seperti halnya mayoritas anggota PBB, aku
benci imperialisme dan aku jijik pada kolonialisme."
Kelima,
Bung Karno menganggap PBB keblinger dengan menolak perwakilan Cina,
sementara di Dewan Keamanan duduk Taiwan yang tidak diakui oleh
Indonesia.
Di mata Bung Karno, "Dengan mengesampingkan bangsa
yang besar, bangsa yang agung dan kuat dalam arti jumlah penduduk,
kebudayaan, kemampuan, peninggalan kebudayaan kuno, suatu bangsa yang
penuh kekuatan dan daya-ekonomi, dengan mengesampingkan bangsa itu, maka
PBB sangat melemahkan kekuatan dan kemampuannya untuk berunding justru
karena ia menolak keanggotaan bangsa yang terbesar di dunia."
Keenam, tidak adanya pembagian yang adil di antara personal PBB dalam
lembaga-lembaganya. Bekas ketua UNICEF adalah seorang Amerika. Ketua
Dana Khusus adalah Amerika. Badan Bantuan Teknik PBB diketuai orang
Inggris. Bahkan dalam persengketaan Asia seperti halnya pembentukan
Malaysia, maka plebisit yang gagal yang diselenggarakan PBB, diketuai
orang Amerika bernama Michelmore.
Bagi sebagian kepala negara,
sikap keluar dari PBB dianggap sikap nekad. Bung Karno tidak hanya
keluar dari PBB. Lebih dari itu, ia membentuk Konferensi Kekuatan Baru
(Conference of New Emerging Forces/ Conefo) sebagai alternatif persatuan
bangsa-bangsa selain PBB. Konferensi ini sedianya digelar akhir tahun
1966.
Langkah tegas dan berani Sukarno langsung mendapat
dukungan banyak negara, khususnya di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan.
Bahkan sebagian Eropa juga mendukung.
Sebagai tandingan
Olimpiade, Bung Karno bahkan menyelenggarakan Ganefo (Games of the New
Emerging Forces) yang diselenggarakan di Senayan, Jakarta pada 10 – 22
November 1963. Pesta olahraga ini diikuti oleh 2.250 atlet dari 48
negara di Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika Selatan, serta diliput
sekitar 500 wartawan asing.
Bung Karno dengan Conefo dan
Ganefo, sudah menunjukkan kepada dunia, bahwa organisasi bangsa-bangsa
tidak mesti harus satu, dan hanya PBB.
Bung Karno sudah
mengeluarkan terobosan itu. Sayang, konspirasi internasional (Barat)
yang didukung segelintir pengkhianat dalam negeri (seperti Angkatan '66,
sejumlah perwira TNI-AD, serta segelintir cendekiawan pro Barat, dan
beberapa orang keblinger), berhasil merekayasa tumbangnya Bung Karno.
Wallahu a'lam. (IRIB Indonesia/GFI/SL)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar