PAPUA DI ERA OTONOMISASI KHUSUS
Oleh : WPapuani
A. Situasi Papua (Tahun 2000-2009)
Majelis
Rakyat Papua ( MRP ) menyatakan selang bulan agustus disaat perayaan ulang
tahun Indonesia yang ke 62, lima puluh delapan orang Papua meninggal tanpa
sebab. Kajian sementara pejabat resmi Indonesia ini bahwa ada upaya sistematis
yang dilakukan kelompok tertentu untuk menciptakan konflik dengan berbagai
cara. Namun sayangnya MRP tak bisa berbuat apa-apa walaupun mereka adalah
pejabat publik tetapi selalu di garis luar yang tak punya gigi untuk menggigit
Indonesia.
Intervensi
internasional terhadap masalah Papua sebelum agustus-07 punya dalih untuk
Indonesia serius tangani Papua. Maka untuk menjalin keyakinan akan perubahan di
Papua pemerintah keluarkan PERPRES No. V tentang percepatan pembangunan kawasan
tertinggal, termasuk penanganan otsus yang tidak berdaya “gagal” dilaksanakan
selama tujuh tahun terkhir. Penerapan Perpres didukung dengan dana 18 trilyun.
Apakah akan tuntas masalah Papua dengan keseriusan Indonesia sekarang?
B. Spektrum Kebijakan Politik di Papua Bagian Barat Melanesia.
1. Otsus-Pemekaran dalam Investasi-militerisasi
Negara-negara
makmur punya cara tersendiri untuk menangani masalah yang terjadi di
Negara-negara berkembang termasuk Indonesia yang saat ini menguasai Papua.
Tidak ada cara lain, selain mengintervensi secara politik dan memberi hibah
pinjaman uang. Timor Leste adalah Negara terkini yang menjadi lahan pinjaman
internasional selain Indonesia yang sudah menampung dan hidup diatas hutang
luar negeri.
Tanah Papua dalam resensi globalisasi tidak bisa lari dari kenyataan globalisasi. Cara yang paling gampang cengkraman itu ada adalah segudang kebutuhan terus disediakan bagi kenyamanan investasi seperti pemekaran wilayah administrative, pembunuhan karakter tradisi orang Papua yang kuat, kebutuhan represi dan terror terhadap penduduk setempat. Pemekaran wilayah di Papua baik propinsi maupun kabupaten mendesak dilakukan demi menjawab kebutuhan modal internasional dan nasional. Elit politik lokal harus kalah dalam menghadapi kenyatan ini, sehingga intelektual Papua hanya dibutuhkan legitimasi untuk mendorong tercapainya keinginan kelompok modal dan rakyat terus dianeksasi dalam retorika kemakmuran dan kesejahteraan. Rentang kendali dengan dalih sejahtera, ketertinggalan namun nyatanya sama-tetap miskin dan terus tertinggal.
Tanah Papua dalam resensi globalisasi tidak bisa lari dari kenyataan globalisasi. Cara yang paling gampang cengkraman itu ada adalah segudang kebutuhan terus disediakan bagi kenyamanan investasi seperti pemekaran wilayah administrative, pembunuhan karakter tradisi orang Papua yang kuat, kebutuhan represi dan terror terhadap penduduk setempat. Pemekaran wilayah di Papua baik propinsi maupun kabupaten mendesak dilakukan demi menjawab kebutuhan modal internasional dan nasional. Elit politik lokal harus kalah dalam menghadapi kenyatan ini, sehingga intelektual Papua hanya dibutuhkan legitimasi untuk mendorong tercapainya keinginan kelompok modal dan rakyat terus dianeksasi dalam retorika kemakmuran dan kesejahteraan. Rentang kendali dengan dalih sejahtera, ketertinggalan namun nyatanya sama-tetap miskin dan terus tertinggal.
Nah,
ada apa dengan peluncuran satelit Rusia di Biak tahun 2010 mendatang?.
Negara-negara teknologi maju akan mengedepankan kemandirian teknologi dalam
berbagai kebijakan politik luar negeri mereka. Negara-negara terkorup dan
banyak utangnya menjadi sasaran adalah Indonesia. Amerika dan Rusia maupun
Eropa dan Jepang akar perjuangan bagi kemandirian teknologi”soft&hardward”.
Masyarakat Papua adalah penduduk tradisional yang belum berada dalam tataran
teknologisasi modern. Dalam mempertahankan hidup pun, orang Papua
masih mengadu kealam. Kita masih dimanja alam. Segala
sesuatu beralih ke ketersediaan alam semata. Nah, bagaimanapun juga, pasar
teknologi modern harus ada di Papua. Apa yang terjadi?..lonjakan budaya pasti
ada. Kenapa Otsus gagal di Papua? Ini masalah serius dan menjadi evaluasi
bahkan penghentian bagi siapapun yang berdialektika otsus berhasil. Alasannya
sangat jelas, jembatan bagi kelangsungan pasar globalisasi ada di Papua adalah
Otsus. Ditengah struktur sosial orang Papua yang kental dengan tradisional
sejati. Masyarakat adat yang menjunjung tinggi kedaulatan adat dan budaya yang
kuat. Bagi globalisasi inilah tantangan mutakhir karena mereka tak dapat hidup
dengan modernisasi ditengah lingkungan yang berwatak tradisi. UU No. 21/2001 hanyalah alat bahkan jembatan globalisasi.
2. Peranan Investasi
dalam gejolak politik dan kemanusiaan di Papua
Ini
dia pemicu porak-poranda Tanah Papua. Di era Susilo Bambang Yudhoyono sudah ada
18 perusahaan yang ditandatangani kontrak karya kerja. Papua belum selesai soal
Freeport dan BP kemudian caltex yang jelas tidak menunjukan dampak positif
apapun disana. Freeport punya wewenang di wilayah pegunungan tengah, BP punya
wewenang di wilayah kepala burung sedangkan caltex punya wewenang diwilayah
Biak. Maroke akan dibangun perusahaan perkapalan ternama di Asia investasi
jepang dan korea. Ribuan hektar hutan Papua saat ini diincar oleh pengusaha
terkaya asal Belanda yang menginvestasi perkebunan kelapa sawit.
Mengapa
analisis ini penting?...ya, spectrum kebijakan politik diPapua bila di tilik
adalah benar peran yang dimainkan sang modal merubah fenomena sosial maupun
politik di Tanah ini. Bagaimana cacatnya Proses penentuan pendapat rakyat tahun
1969 terjadi akibat dua tahun sebelumnya tahun 1967 intervensi Freeport datang
ke Papua dan lahirnya UU.No 11 tahun 1967 tentang investasi asing. Dampak
kemanusiaan pun nyata sejak keberadaan multicoorporat. Kasus mil 62-63 di mile
Freeport selain 7 orang dipenjara-Ardi Tsugumol meninggal dalam tahanan Mabes
Polri. Belum lagi masalah penembakan di wilayah konsensi Freeport yang sampai
sekarang tak mampu diungkapkan oleh Negara. Sampai sekarang negosiasi
penyelesaian masalah Freeport dari 1 persen menjadi 3 persen untuk penduduk
sipil Papua, 4 persen naik menjadi 6 persen untuk Jakarta. Tahun 2006
pendapatan total Indonesia dari Freeport rata-rata 40 trilyun. Sejumlah problem
sosial dan politik yang terjadi semenjak FI ada tidak dinegosiasikan. Musti ada
sikap terbuka dari semua pihak dalam pola penyelesaian Freeport. Tekanan
politik orang Papua punya peran untuk mendorong perhatian serius soal-soal
kedaulatan.
3.
Fenomena Biomiliterisme
& Tindakan Terror
Kehadiran
Anggota Kongres AS juli 07 di Jakarta membuktikan kegagalan Otsus di Papua.
Semestinya selain rakyat Papua diberikan kesempatan referendum setelah otsus
berjalan selama 25 tahun (2001-2025). Solusi yang pantas adalah Indonesia
membuka ruang referendum sejak otsus dinilai gagal. Jika konsekwen, Rakyat
Papua sudah menentukan suara bulat dalam mekanisme referendum ditahun 2007 ini
pasca kegagalan otsus. Namun realitas berubah dengan penerapan terror,
penculikan, peracunan dan pembunuhan. Ada apa..!
Papua
tidak lagi ditangani dengan cara-cara bersenjata sebab Indonesia memahami benar
embargo senjata dari Amerika akibat kekerasan senjata aparat di Papua. Militer Indonesia dibatasi hak mereka untuk menggunakan senjata
menyelesaikan masalah Papua. Nah, keterpurukan sekarang akibat kekuatan bedil
sejata zaman lalu mulai nampak kasus-kasus para jenderal terbongkar bisnis liar
mereka. Laporan NYT-New York Times,27/12/ 05 semua kemauan baik
fasilitas maupun keuangan mulai dari letnan sampai jenderal mampu disediakan
oleh Freeport.
Tetapi
kekuatan bersenjata tidak selamanya diam jika dikemudian hari pasca
penandatanganan peluncuran satelit di Biak, bantuan persenjataan Rusia
dibutuhkan bagi tentara RI. Pendropan peralatan militer rusia bagi RI
ini fase terkini yang menghawatirkan. Sebab kegigihan Rusia memperjuangkan
masalah kemanusian HAM lemah dibanding Amerika, Eropa dst yang cukup kuat
tekanan HAM.
Indonesia
tidak berdaya dalam tekanan internasional itu pasti. Reformasi 1998, tuntutan
Papua dan Aceh Merdeka bahkan berhasilnya Timor leste mewujudkan Negara
sendiri. Fenomena politik dalam transisi demokrasi di Indonesia tak
terhindarkan dari sorotan internasional. Berhasilnya Otonomi Daerah, Otsus
untuk Papua merupakan konsensi internasional juga.
Apa
yang dilakukan jika Otsus Papua gagal, Perundingan RI-GAM bentrok di tengah
jalan. Pilihan Indonesia adalah statute Negara kesatuan tidak
memberi jaminan kesatuan Negara. Maka peranan internasional sekarang adalah
disatu sisi menegaskan keberpihakan dalam penyelesaian konflik namun semakin
tidak konsisten dukungan bagi perjuangan wilayah-wilayah merdeka. Indonesia
pasca 2009 tak akan bergigi lagi jika Negara persatuan yang rapuh, maka win-win
solusi dalam menjawab masalah ini adalah…Papua dan Aceh Negara sendiri ataukah
tetap dalam Indonesia dengan perkuat Otsus yang lebih baik lagi yaitu federal. Inilah satu-satunya solusi terkini dan akan datang dalam menjawab kegagalan
otsus di Papua dan konflik di Aceh.
C. Kolaborasi Konflik Di Papua Menjelang Jeda Pemilu 2009
Menjelang
pemilu di negeri Indonesia konflik merupakan budaya rekonstruksi elit.
Indonesia dalam tataran kehidupan bernegara yang plural terbagi dalam berbagai
kelompok dan golongan. Dari Mayoritas, minoritas, dominasi Agama dan
Sipil-Militer. Kubu nasionalis dan kubu agamis. Fenomena golongan hari ini
cukup andil dalam prospek kebijakan nasional. Lahirnya kubu oposisi, kubu
Agamis liberal hingga agamis reaksioner. Kancah perpolitikan Jakarta yang
semakin didominasi kembalinya tentara kedalam ruang-ruang politik semakin
menjurus pada kekuasaan otoriter dikemudian hari. Pemilu mendatang, tentara dan
sipil dipertaruhkan dalam pesta rakyat. Wilayah-wilayah yang rawan konflik
tidak luput dari warna konflik menjelang pemilu.
Peristiwa
yang terjadi di Papua sekarang adalah tidak terlepas dari kolaborasi menuju
kesuksesan pemilu. Elit politik Jakarta patut di duga keberpihakan mereka dalam
mempraktekan konflik di Papua. Sudah pasti Papua dibagi-bagi dalam kepentingan
investasi internasional dan nasional, gerakan politik praktis pun tidak diam
dalam membagi lahan. PDIP dan Golkar dua kekuatan politik rill yang dominan di
nasional. Juga mayoritas baik Agamis maupun golongan Militer dua spectrum
politik yang tak luput dari peranan mereka terhadap Papua.
D. Hutan Papua “solusi” Bagi Pemanasan Bumi
Masyarakat adat Punya tempat yang Sempurna
Indonesia
punya wilayah territorial yang sedang dipandang
dunia untuk mampu menjawab bahaya pemanasan bumi. Adalah Papua. Dalam bulan
Desember 2007, akan diselenggarakan pertemuan Negara-negara dunia.
Negara-negara modern dalam kasad mata terkini tertuju ke Indonesia sebagai
Negara berkembang yang punya kemerdekaan adat dan budaya. Papua jadi titik
tolak mata dunia tertuju. Maka tidak heran dalam kampanye GLOW-kelompok baru
yang bangkit dan mengkampanyekan pentingnya masyarakat adat dipertahankan. GLOW
memandang masyarakat Papua dan Dayak punya peranan Adat yang cukup signifikan
dalam menjaga hutan dan lingkungannya. Maka tidak heran kawan-kawan Papua dan
Dayak dilibatkan dalam perjuangan bersama masayarakat adat.
Capaian
internasional dalam menjawab pemanasan bumi dimana dalam resolusi PBB tahun ini
hendak dikeluarkan sebuah petisi resmi tentang pentingnya perlindungan terhadap
Hak-hak masyarakat adat di seluruh dunia. Dalam pandangan PBB, Negara-negara
asia dan Negara berkembang masih banyak didominasi masyarakat adat. Dimana
kemampuan masyarakat adat sudah terbukti tidak merusak hutan. Ketika resolusi
PBB hendak dibawa dalam siding PBB tahun ini, tidak mulus keberpihakannya
terhadap masyarakat adat akibat ketidak setujuan beberapa Negara seperti
Amerika, Inggris dan Eropa. Alasan ketidak setujuannya adalah kebijakan
perlindungan dan pemgakuan terhadap hak-hak masyarakat adat tidak sesuai dengan
konstitusi Negara sendiri.
Namun
perjuangan masyarakat adat punya tempat yang sempurna ditengah kampanye
pemanasan bumi saat ini. Orang di dunia manapun mereka akui bahwa manusia
tradisional mampu melindungi lingkungan alam mereka. Tetapi tantangan terkini
adalah masayarakat Adat di belahan dunia diperhadapkan dua kepentingan
Globalisasi antaranya Soft&hardward bagi Negara-negara berteknologi
maju dan ekspansi bagi Negara-negara ekplorasi hasil-hasil bumi bertemu dalam
satu kebutuhan bersama yaitu adanya jaminan pasar bagi pemasaran dan jual beli
barang-barang modern.
E. Kurangnya Perhatian Negara?
Indonesia
menurut data badan kesehatan dunia tahun 2005, berada pada urutan ke lima
perlindungan kesehatan taraf internasional. Salah satu alasannya adalah
Indonesia menjadi pusat aktivitas saham berbagai Negara-negara maju. Deteksi
kelayakan obat-obatan dan makanan tidak terjangkau dan banyak illegal
obat-obatan yang membahayakan kelangsungan hidup. Pusat aktivitas gempa bumi
cenderung membuat para korban bencana tidak diurus kesehatannya “terlantar”.
Selain wilayah yang luas dan penanganan yang terpusat, distribusi kebutuhan
hidup berupa makanan pabrikan cenderung tidak terkontrol mengakibatkan banyak
bahan makanan yang telah kadaluarsa masih terus dipasarkan.
Wilayah Papua yang sudah
puluhan tahun berada dalam Indonesia tidak ada perubahan nyata. Pelosok-pelosok
Papua sangat terisolasi. Maka, diperkirakan perbelanjaan bahan pabrikan untuk
dijual ataupun di konsumsi membutuhkan waktu yang lama untuk bisa mendapatkan
yang baru atau sesuai dengan standar WHO. Penyebaran
produk di wilayah terisolasi sering berjalan dengan rotase pasukan enam bulan
sekali. Alasannya adalah militer masih punya andil untuk menangani transportasi
seluruh Papua, walaupun ada juga penerbangan misi keagamaan di pelosok Papua. Bukan hanya di pelosok saja yang kadaluarsa tetapi daerah perkotaan pun
sama nasibnya. Rakyat Indonesia masih suka menyimpan uang
daripada menggantikan produk lama dengan produk baru. Nasib rakyat yang kian
tak terurus menjerumuskan siapapun untuk terus memasarkan barang-barang diluar
standar kesehatan guna mendapat uang semata.
Orang
Papua bila di hitung, periode Sebelum tahun 60an, selain kehilangan satu suku
di Arfak-Manokwari dan mewabahnya penyakit raja singa yang diderita suku
wilayah selatan sejak kontak para pendatang mulai memasuki wilayah tersebut.
Ratusan orang meninggal akibat wabah penyakit raja singa. Periode tahun 60an
integrasi Papua dilakukan dengan berbagai operasi militer, operasi bratayudha,
kasuari, serangan fajar. Ratusan orang Papua meninggal. Periode tahun 70an
hingga DOM diberlakukan dan korbanpun tak di indahkan.
Periode
sekarang pun orang Papua mengalami nasib yang sama dengan tahun-tahun
sebelumnya. HIV AIDS?, Keracunan? Penembakan? Ini semua ada di Papua.
Sudah pasti lumbung kematian itu bernama “orang Papua”.
Sudah pasti lumbung kematian itu bernama “orang Papua”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar